Di Modul 1.4 saya belajar tentang disiplin positif, di mana ketika ada pelanggaran, sebaiknya yang harus dilakukan bukan lagi hukuman atau konsekuensi. Saya juga belajar tentang ilusi-ilusi yang dulu sangat saya yakini, yaitu bahwa kita sebagai guru bisa mengontrol murid. Ternyata hanya semua kontrol ada pada diri kita masing-masing. Jika kita tidak mau membuka diri maka orang lain tidak dapat memaksa, kecuali karena kita menginginkannya.
Tentang posisi kontrol, sejak saya menjadi guru saya baru mengetahui tentang adanya tipe guru penghukum, dan bukan. Tapi sekarang saya telah mempelajari adanya lima posisi kontrol yaitu penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau dan manajer. Saya sendiri termasuk bukan guru penghukum, tapi lebih kepada teman. Dan sejauh ini baik-baik saja. Tapi ternyata posisi kontrol sebagai teman mempunyai efek jangka pendek dan bersifat subyektif. Murid hanya akan menurut pada guru yang mereka anggap teman. Dari sini saya sadar bahwa saya harus memperbaiki posisi kontrol saya untuk dapat lebih membentuk karakter murid dengan lebih baik. Seperti yang saya rasakan, bahwa ketika murid menhadapi orang lain, mereka akan melakukan pelanggaran lagi.
Saya belajar juga tentang lima kebutuhan dasar manusia yang apabila tidak tercukupi akan muncul perilaku menyimpang. Saya mulai memahami bahwa setiap murid yang melanggar aturan dikarenakan adanya salah satu kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan apa yang belum terpenuhi, kita akan lebih mudah membantu murid menemukan solusi permasalahannya tersebut.
Saya juga belajar tentang pentingya membuat keyakinan kelas untuk membentuk budaya positif. Dan keyakinan kelas sebaiknya disusun bersama murid, diusahakan juga dalam kalimat-kalimat positif. Salah satu kegiatan dalam membentuk keyakinan kelas adalah dengan kegiatan tampak seperti dan tidak tampak seperti. Di sini murid diajak mengidentifikasi perilaku yang positif yang seharusnya tampak (dilakukan) dan perilaku negatif yang seharusnya tidak tampak (tidak dilakukan). Saya akan mencoba kegiatan ini untuk semester berikutnya.
Hukuman dan penghargaan juga tidak berdampak positif untuk jangka panjang. Dan yang paling efektif adalah restitusi. Restitusi merupakan proses menuntun murid untuk menemukan solusi permasalahan dari pelanggaran yang telah ia lakukan dan membantu mereka menjadi orang yang lebih baik. Restitusi adalah hal baru yang saya temui. Restitusi harus memuat segitiga restitusi yaitu menstabilkan identitas (bahwa setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan), validasi tindakan yang salah (setiap orang pasti punya alasan untuk melakukan sesuatu, dan menanyakan keyakinan.
Perasaan saya setelah mempelajari modul 1.1 -- 1.4 adalah senang dan puas. Saya dapat memperoleh wawasan tentang disiplin positif yang diwujudkan dengan cara lebih komprehensif. Mulai dari membentuk keyakinan kelas hingga mengubah hukuman dan konsekuensi dengan restitusi. Setelah mempelajari ini semua mindset saya berubah, mulai dari berusaha mengontrol murid kepada mencoba memahami kebutuhan murid dan alasan setiap perbuatan yang mereka lakukan, dan mencoba memperbaiki posisi kontrol menjadi manajer. Sikap saya juga berubah, mencoba untuk lebih menuntun anak agar mereka dapat memperbaiki apa yang sudah mereka lakukan.
Ini adalah pertama kalinya saya belajar tentang restitusi. Pengalaman yang sangat berkesan dan membekas. Sebelumnya ketika murid melakukan pelanggaran saya hanya mencoba menanyakan alasan mereka melakukan kesalahan, kemudian meminta untuk tidak melakukan lagi. Karena saya meyakini guru dapat mengontrol murid. Namun, dengan mengambil peran sebagai teman, pelanggaran yang sama masih saja terjadi. Dan baru sekarang saya pahami, bahwa tanpa restitusi, murid tidak dapat belajar mengubah perilaku negatifnya dengan motivasi dari dalam, sehingga kepatuhan tersebut tidak akan bertahan lama.
Suatu hari saya menjumpai murid melakukan pelanggaran, yaitu menggunakan karet gelang untuk digunakan mengenai teman (seperti ketapel). Karena beberapa murid yang melakukan, saya mencoba untuk menerapkan tiga langkah segitiga restitusi di dalam kelas secara klasikal. Saat saya melakukan langkah menstabilkan identitas, saya lihat reaksi murid tidak terlalu emosi karena merasa yang melakukan kesalahan tidak hanya dia sendiri.
Pada langkah validitas tindakan yang salah, alasan mereka melakukan hal tersebut, kebanyakan dilakukan karena menyenangkan. Namun untuk tahap menanyakan keyakinan, dan karena saya lakukan di dalam saat jam pelajaran, saya gagal sampai membuat mereka menemukan solusi permasalahannya. Dikarenakan banyak murid yang menjawab sehinggan tidak dapat maksimal. Saya sedikit kecewa dengan pencapaian ini, tapi dari pengalaman ini saya belajar bahwa untuk melakukan segitiga restitusi sebaiknya dilakukan di waktu khusus agar dapat bicara dari hati ke hati.
Setelah saya mempelajari modul 1.1 -- 1.4 beberapa hal yang akan saya lakukan antara lain membentuk keyakinan kelas di awal semester, belajar melakukan restitusi untuk menghadapi pelanggaran murid, dan berusaha melakukan sharing bersama rekan guru untuk membentuk disiplin positif di lingkungan sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H