Tanggal 12 Januari 2023 adalah hari yang susah untuk saya gambarkan. Berbagai perasaan berkecamuk di hati sejak pagi hari. Ya, hari itu Ibunda saya --biasa saya panggil Mami-- berpulang ke pangkuan Allah.
Pagi itu kami masih tidur. Tiba-tiba suami menerima telepon video dari kakak saya. Saya ikut terbangun dan berada di sampingnya hanya bisa terdiam. Sejak Ibu sakit, saya tahu momen ini hanya masalah waktu.
Saya tidak menangis. Ada dua alasan. Pertama, karena itu pesan ibu saya sebelum berpulang (tiga hari sebelumnya), "Jaga anak-anakmu. Nanti jangan nangis..." Pesan yang menyiratkan akan pergi.
Kedua, karena saya fokus berpikir bagaimana untuk segera pulang. Saya secepatnya berkemas dan menempuh perjalanan 4-5 jam dari Cikarang ke Salatiga.
Sepanjang perjalanan saya berusaha tegar. "Biarlah air mata ini kusimpan untuk nanti...". Saya juga ingin suami tetap tenang sehingga bisa fokus mengemudikan kendaraan.
Pagi itu matahari bersinar dengan eloknya. Langit biru hanya sedikit dihiasi awan putih. Mobil melaju dengan lancar, bahkan di tol Karawang-Cikampek yang biasanya tersendat. Puji Tuhan!
Kurang lebih 4 jam, kami sampai di Semarang. Setelah berkontak dengan kakak saya, ternyata jenazah Ibunda belum berangkat dari rumah duka. Selama sakit sebulan lebih, Ibunda memang dirawat di salah satu rumah sakit di Semarang dan di rumah kakak.
Akhirnya, kami memutuskan keluar tol Banyumanik dan menunggu di pintu masuk tol Banyumanik.
Tak lama dari itu, ambulans jenazah sudah datang. Rasanya campur-aduk membayangkan Ibunda sudah di dalam peti. Dengan beriringan, kami mengantar pulang Ibunda ke rumah.
Tangis Duka Kehilangan
Kehilangan seseorang yang kita cintai sudah pasti menyisakan duka yang dalam. Mungkin pada saat itu, tangis kita tidak berlebihan (hingga pingsan misalnya) atau meraung-raung hingga membuat orang lain ikut larut dalam kesedihan. Tapi saya yakin setelahnya, seseorang baru merasa kehilangan yang teramat dalam.