Tersabet Daun Kedondong
Semula ini berawal dari omongan tetanggaku. Resiko tinggal di kampung memang begini. Tak ada batas privasi. Banyak mulut mengomentari dari yang perlu sampai tidak perlu.
"Anakmu sudah setahun, kok belum ada tanda-tanda bisa jalan?" begitu tanya tetangga di ujung gang.
Rasanya aku ingin punya motor atau mobil, jadi tak perlu jalan melewati rumah tetangga dan dihentikan dengan banyak pertanyaan kepo. Namun, apadaya tinggal di kampung ini pun aku masih mengontrak.
Aku tak pernah mengeluh hidup susah. Tapi aku mengeluh dengan rentetan komentar orang. Serba salah tinggal di kampung ini. Bergaul salah, tidak bergaul lebih salah.
"Nggak usah baper, Ma... Gitu saja kok! Kamu kan tahu masing-masing anak berbeda perkembangannya, " kata suamiku.
Aku menggaruk kepalaku. Apa aku memang baper dengan segala kelelahan mengurus anak-anak ini?
Tapi makin hari makin jadi baperku. Anakku jadi omongan ibu-ibu kampung. Alamak... bagaimana membuat mulut-mulut itu mingkem?
Dan tahukah, aku merasa semakin hari semakin banyak mulut-mulut bersuara. Sebagai ibu muda alias mahmud, aku sering terbawa emosi.
"Bawa ke dokter anak, gih! Nanti keburu telat, "