Menjadi "anak tengah" itu tidak mudah. Apa yang dilakukan selalu salah. Sering juga berulah. Namun, jika ia mampu mengolah semua perasaan itu niscaya akan menjadi berkah.
"Tapi kalau buat aku sendiri... ini kayak keadaan... di tengah-tengah!" Jawab Aurora.
Pernah menonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)? Kalimat di atas adalah jawaban dari Aurora, si "anak tengah" dari keluarga Pak Rendra dan Bu Ajeng ketika menjawab pertanyaan dari pengunjung pamerannya.
Dalam pameran seni tersebut, pengunjung memuji karyanya, namun juga menanyakan mengapa karya Aurora hampir semua bernuansa hitam. Apakah ungkapan depresi Aurora? Ternyata tidak. Namun lebih mengungkapkan isi hati Aurora sebagai "anak tengah".
Kalimat tersebut mendapat tempat di hati saya karena saya adalah anak tengah juga. Hampir semua yang dirasakan Aurora, sedikit-banyak pernah saya rasakan. Karenanya, film ini menjadi "cermin kehidupan" buat saya.
Sindrom Anak Tengah
Menurut Alfred Adler, dokter dan psikolog dari Austria, ada hubungan antara urutan kelahiran dengan karakteristik pribadi seorang anak. Artinya urutan kelahiran bisa mempengaruhi kepribadian anak.
Dikutip dari news.unair.ac.id, menurut Rudi Cahyono, MPsi., Psikolog, pengaruh urutan kelahiran ini sebenarnya tidak terkait secara langsung terhadap kepribadian anak. Namun perlakuan orangtua terhadap anak sehubungan urutan kelahiran ini justru yang sangat berpengaruh pada kepribadian anak.
Tak dapat dipungkiri, orangtua secara tidak sadar atau alamiah memperlakukan anak tidak sama. Sebagai anak tengah, seorang anak akan merasa diperlakukan berbeda.
Berbeda dengan anak sulung yang selalu mendapat prioritas. Ataupun dengan anak bungsu yang mendapat limpahan perhatian.
Anak tengah berada di antara mereka seringkali mengalami dilema dan kebingungan sehingga mengakibatkan perubahan perilaku dan karakter tersendiri.