"Ma, itu bacanya apa?" tanya anak saya yang duduk di kelas empat SD. Waktu itu kami sedang menonton pertunjukan di kebun binatang.
"Oh itu, dilarang bersandar di pagar, Kak! Karena bahaya, bisa digigit harimau nanti," sahut saya. Yang terbersit dalam pikiran saya adalah dia tidak paham arti kalimat yang tertera dalam papan larangan itu. Sama sekali tak terpikir jika penglihatannya terganggu.
Begitu anak saya mengatakan dia tidak bisa membaca karena tidak kelihatan, baru saya kaget. "Aku nggak kelihatan tulisannya, Ma!" katanya. Aduh, jadi dia bukan tidak tahu artinya, tapi karena tulisan di papan yang kurang lebih berjarak 10 meter itu sudah tak terlihat.
Kekagetan saya bukan karena denial kemungkinan myopia pada anak saya. Namun lebih disebabkan betapa lengahnya saya selama beberapa minggu terakhir.
Saya dan suami bisa dikatakan jungkir-balik berusaha mengembalikan semangat belajar dan prestasinya yang menurun selama Home Based Learning (HL) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Jika boleh jujur, saya pusing, stres, jengkel, marah, dan seterusnya dengan HL ini. Istilah bahasa Jawa yang tepat menggambarkannya adalah "budrek".
Bagaimana tidak "budrek" jika anak tidak semangat mengikuti HL, sibuk bermain game, tidak fokus, tidak mengerjakan tugas-tugas, dan bahkan nilai akademiknya turun? Bahkan, mengajak liburan kali ini terpaksa kami lakukan sebagai langkah terakhir untuk mengembalikan semangatnya.
Seminggu setelah liburan itu, kami membawanya untuk periksa mata. Hasilnya terkonfirmasi matanya minus atau rabun jauh (myopia) dan ada sedikit silinder. Dia pun diharuskan memakai kacamata.
Dari penjelasan dokter spesialis mata yang memeriksa anak saya, memang myopia pada anak sering tidak disadari karena anak tidak tahu dan tidak paham. Tahu-tahu malas belajar dan prestasinya turun.
Di masa pandemi Covid-19 ini, anak mau tak mau sekolah melalui HL atau PJJ menggunakan gadget berupa laptop atau handphone. Kemungkinan anak mengalami gangguan penglihatan berupa myopia pastinya lebih besar.
Saya malah menduga sekarang ini telah terjadi "myopia boom" dimana akan banyak anak mengenakan kacamata. Beraktivitas di depan gadget dari pagi hingga sore tentu ada efeknya. Meski ada jeda waktu antar sesi konferens, anak sulit mengontrol dirinya untuk beristirahat dari depan laptop.