Lihat ke Halaman Asli

MomAbel

TERVERIFIKASI

Mom of 2

"Travelling" untuk Anak, Perlukah?

Diperbarui: 2 Juni 2018   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Banyak yang bertanya atau berkomentar tentang perlu-tidaknya travelling untuk anak, dari yang bernada positif hingga yang bernada negatif---nyaris nyinyir. Bahkan di sosial media travelmom atau travelblogger loh!

Ada yang merasa tidak perlu wong anak masih kecil dan belum tahu apa-apa. Apalagi mengingat perjalanannya. Travelling mengajak anak itu rugi, begitu katanya. Ada yang berpikir negatif : "palingan travelling untuk gengsi" biar ada postingan foto liburan bersama anak dan keluarga. Bukankah kebahagiaan itu harus dicitrakan di media sosial? Hohoho... (yang ini bikin saya garuk-garuk kepala hihihi).

Hmmm... sebenarnya tidak ada yang bertanya kepada saya secara langsung sih. Hahaha... (GR banget ya? Siapa juga saya? Sok penting euy) Tapi ijinkan saya berbagi, siapa tahu bermanfaat. Boleh ya?

Jika mendapat pertanyaan seperti judul diatas, sebenarnya buat saya agak susah memberi jawaban. Kondisi dan prioritas hidup masing-masing orang berbeda. Namun, saya punya pengalaman yang menjadikan saya menganggap travelling untuk anak adalah perlu. Karenanya, saya suka dan sering mengajak anak-anak saya travelling bahkan selalu saya ajak kemanapun saya pergi.

Pengalaman ini adalah pengalaman masa kecil saya. Saya lahir dan tumbuh di kampung. Orangtua saya bukan orang berada. Tapi saya ingat betul meskipun tidak terlalu detil, ada suatu hari bapak saya mengajak anak-anaknya jalan-jalan. Kebetulan bapak punya sepeda motor bebek tua dan butut waktu itu. Jadi, kami bertiga (kakak, saya, dan adik) diajak naik motor pergi ke Ambarawa yang berjarak kira-kira 30 km dari rumah.

Suatu saat kenangan masa kecil itu muncul di benak saya. Bak kaset berputar di memori saya, satu per satu kepingan kenangan itu menjelma menjadi sebuah keindahan sekaligus kerinduan. Masa kecil yang sederhana tapi bahagia.

Rasanya ingin kembali ke masa itu, merasakan semilir angin yang berhembus sore itu. Di atas sepeda motor bapak yang melaju, saya mencium aroma bunga kopi saat melewati perkebunan kopi. Melihat bis-bis besar yang melintasi jalan poros Semarang-Solo. Menyaksikan rawa Pening yang bersih tanpa eceng gondok seperti sekarang. Udara sore yang hangat seolah membius saya seakan diajak tamasya ke tempat yang indah.

Padahal kalau dipikir perjalanan tersebut tidak ada istimewanya. Tidak ada foto-foto, tidak dibelikan makanan western, apalagi ke taman bermain penuh fantasi seperti Disneyland. Tapi di hati saya, perjalanan itu mampu mencipta sebuah rasa yang indah.

Hmmm... kenangan terkadang tidak mudah dirangkai menjadi kata-kata. Namun "jejak rasa" dari kenangan bisa kita temukan. Mungkin saya termasuk orang mellow berlebihan. Tapi seringkali jejak rasa kehidupan itu memberikan semacam energi dan semangat baru untuk berani hidup. Iya, berani hidup dan menjadi tough!

Bukankah kehidupan tidak selalu manis? Kenyataan juga terkadang tidak sesuai dengan harapan. Bagi saya, jejak rasa tersebut memberikan saya ketenangan dan memantik semangat. Rasa bahwa kita pernah bahagia dan dicintai. Life must be tough!

Saya berpikir bahwa tidak selamanya saya bisa mendampingi anak-anak. Kelak kalau saya sudah tidak ada, saya ingin jejak rasa seperti itulah yang akan menemani mereka. Saya ingin anak-anak tetap merasakan cinta kasih yang abadi dari orangtuanya. Seperti jejak rasa dari perjalanan bersama bapak saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline