Lihat ke Halaman Asli

Darah Biru

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13804235791739004475

“Hmmm....terjadi lagi”, keluh Ratih dalam hati. Diam-diam wanita ayu berkulit kuning langsat itu menyesap teh hangat tanpa gula, duduk menyendiri di sudut dapur yang sibuk dengan lalu lalang orang. Dia tak lagi mempedulikan hiruk pikuk keramaian pesta di aula yang letaknya tak jauh dari dapur. Pesta rutin yang sering diadakan kantor Bagas, suaminya.

Pikirannya melanglang buana pada kejadian puluhan tahun lalu, kenangan masa kecilnya. Dilahirkan di tengah keluarga berada di sebuah kota kecil seharusnya membuatnya bahagia. Ayahnya pegawai swasta bergaji lumayan. Kerap melakukan perjalanan ke dalam dan luar negeri, membuat Ratih kecil kenyang dengan berbagai oleh-oleh mainan mahal yang hanya bisa didapatkan di mancanegara. Kala itu masih jarang keluarga besar mereka yang melakukan perjalanan ke luar negeri.

Namun, di tengah kegembiraan masa kecilnya, Ratih kerap mendengar keluh kesah ibunya. Ibunya, wanita sederhana yang berasal dari kota kecil Wanasegara, berbatasan dengan kota besar yang cukup makmur, Selabandha. Sebagai putri polisi yang kerap berpindah tugas, akhirnya ibunya terdampar di kota kecil nan gersang, Trembili. Kota ini terkenal dengan perangai orangnya yang kasar dan keras.

Ayah Ratih adalah putra bangsawan kaya yang berasal dari Jagatketawang, kota yang masih kental aroma kerajaannya. Jadi, Ratih masih terhitung kerabat keraton berdarah biru. Darah biru inilah yang membuat seluruh keluarga ayah Ratih merasa derajatnya labih tinggi daripada ibu Ratih yang hanya wanita kampung.

Entah apa yang terjadi di masa lalu, yang jelas hingga kini ayah Ratih enggan menggunakan gelar kebangsawanannya dan jarang menghadiri perkumpulan trah keraton.

Ibunda Ratih kerap berkeluh kesah dengan perilaku saudara-saudara suaminya yang kerap memandang rendah asal daerahnya dan menganggap diri mereka derajatnya lebih tinggi. “Hmm, tapi kalau mereka kekurangan uang, tak malu-malu tuh pinjam uang”, ujar ibunya sambil tertawa masam.

Saking bangganya dengan darah birunya, ada salah seorang sepupu Ratih yang menikah dengan saudara jauh. “Agar darah birunya tidak tercampur dengan darah rakyat biasa”, kata Budhe Ratih, ibunda sang sepupu, yang sasaknya ketinggian.

Itulah orang-orang yang memandang dan menilai orang lain hanya dari kulitnya, hanya dari luarnya, hanya dari garis keturunannya saja. Padahal ada hal lain yang lebih penting dalam menilai seseorang, yaitu perilaku dan ketulusan hatinya.

Hal inilah yang membuat Ratih selalu enggan membuka jati dirinya. Trauma masa kecilnya yang selalu direndahkan membuatnya makin hati-hati dalam bergaul dan menilai orang. Ratih hanya mau berteman dengan mereka yang tulus dan menerima pertemanan apa adanya. Bukan merendahkan seseorang berdasarkan dari hal-hal luar seperti dari mana dia berasal, kaya atau tidak dan keturunan dari siapa.

Namun, nasib melemparnya pada situasi yang kurang menguntungkan. Pekerjaan Bagas, suaminya, menuntut Ratih untuk bertemu dengan orang-orang yang menganggap dirinya ‘high class’, kalangan tinggi derajat. Orang-orang ini hanya mau bergaul dan berkumpul  dengan mereka yang dianggap sama derajatnya. Ratih sudah kenyang dengan celetukan yang merendahkan daerah asalnya.

‘Oh, dari desa Trembili ya, sama dong dengan babu gue....hahahhaha’

‘Ratih dari kampung ya...kirain dari Jekarda’ kata yang lain dengan nada sumbang.

Ratih hanya tersenyum ngenes. Perlakuan yang diterima ibunya dulu, sekarang menimpa Ratih. Mungkin kalau mereka tahu bahwa sebenarnya Ratih keturunan bangsawan kaya, mungkin tak begini cara penerimaan mereka.

Biar sajalah, biar mereka puas merendahkan orang, mungkin itu suatu cara untuk menutupi rasa mindernya karena lain hal. Dengan begini Ratih makin tahu kualitas hati seseorang. Mana yang tulus dan mana yang pura-pura.

Terkadang Ratih lelah dengan pergaulan ala high class ini, namun tuntutan profesi Bagas menuntutnya untuk tetap menikmatinya.

“Honey, yuk pulang....acaranya sudah selesai”, suara Bagas mengagetkannya. Laki-laki cerdas dan sederhana ini menjulurkan kepalanya dari balik pintu dapur. Bagas, laki-laki yang mencintainya apa adanya, tak memandang hanya dari sampulnya saja

“Kamu kemana aja, aku cariin...ternyata ngumpet di dapur”, lanjut Bagas.

Ratih tersenyum, menghabiskan tehnya yang sudah dingin, kemudian berdiri dan menggamit lengan Bagas yang sudah berdiri di sampingnya.

[caption id="attachment_291428" align="aligncenter" width="300" caption=".... (dok.pribadi)"][/caption]

(sekali-kali dah nulis fiksi...hehehhe.. >_<    )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline