Profesor, Guru Besar, Maha Guru. Hadirnya menjadi terang dan harapan bagi para pelajar, membawa semangat perjuangan dalam menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita.
Profesor, menurut KBBI, adalah pangkat dosen tertinggi di sebuah perguruan tinggi. Berdasarkan pengertian ini, profesor seringkali dianggap sebagai guru besar atau orang yang sangat dipandang di lingkungan perkuliahan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa sebuah profesor akan menjadi role model atau panutan bagi orang lain, apalagi dalam pembuatan karya ilmiah. Akan tetapi, jabatan profesor akhir-akhir ini menjadi topik yang lumayan sering diperbincangkan. Pasalnya, ada banyak profesor yang terbukti melakukan kecurangan dalam pembuatan karya ilmiah mereka. Teks ini akan membahas tentang kasus pelanggaran etika profesor yang sempat menggemparkan dunia pendidikan, disertai dengan pendapat dari beberapa pihak dan analogi yang dianggap sesuai dengan kasus tersebut.
Berdasarkan berita yang didapat dari situs IDN Times, kasus dugaan plagiarisme yang melibatkan Kumba Digdowiseiso, dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Nasional (Unas) Jakarta, telah menimbulkan kehebohan di kalangan akademisi. Kumba diduga mencatut nama sejumlah dosen dari Universitas Malaysia Terengganu (UMT) tanpa izin dalam makalah ilmiahnya, yang mencoreng integritas akademik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dalam penelitian. Reaksi keras dari para dosen UMT dan tuntutan untuk investigasi serta sanksi tegas menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini. Sebagai seorang profesor dan teladan bagi para mahasiswa, sudah sepantasnya Kumba menunjukkan etika dan tindakan yang baik, terutama dalam dinamika yang berhubungan dengan karya-karya ilmiah.
Para dosen UMT yang namanya dicatut tanpa izin merasa sangat dirugikan dan menuntut adanya pemberian sanksi yang tegas. Salah satu profesor keuangan dari UMT, Safwan Mohd Nor, mengaku sangat marah saat mengetahui namanya digunakan tanpa persetujuan dalam makalah Kumba. Nor menyatakan bahwa tindakan ini merupakan bentuk penipuan akademis dan menuntut pihak berwenang untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Fakta bahwa para dosen UMT bahkan tidak mengenal Kumba menunjukkan adanya kelalaian atau kelemahan dalam sistem yang membuat Kumba mampu menyalahgunakan nama dari dosen-dosen tersebut.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia akademik. Ketika nama dosen-dosen dari Universitas Malaysia Terengganu (UMT) dicatut tanpa izin dalam makalah ilmiah Kumba, hal ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap kontribusi intelektual orang lain. Tindakan seperti ini tidak hanya merugikan individu yang namanya dicatut, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas akademik. Oleh karena itu, penting bagi institusi akademik untuk menegakkan standar etika yang ketat dan memastikan bahwa setiap karya ilmiah dihasilkan dengan jujur dan bertanggung jawab.
Seperti halnya seorang atlet yang berkompetisi dalam sebuah pertandingan, setiap akademisi harus mematuhi aturan dan etika yang berlaku. Jika seorang atlet ketahuan menggunakan doping untuk meningkatkan performanya, ia akan didiskualifikasi dan reputasinya hancur. Demikian pula, seorang akademisi yang melakukan plagiarisme tidak hanya merusak reputasinya sendiri, tetapi juga mencoreng nama institusi tempatnya bekerja dan merusak kepercayaan publik terhadap dunia akademik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H