Rempang Eco City adalah kawasan industri, jasa, dan pariwisata yang diusulkan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Indonesia. Merupakan proyek strategis nasional yang ditingkatkan berdasarkan Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023. Proyek ini didanai oleh Tiongkok dan diperkirakan akan menciptakan sekitar 35.000 lapangan kerja di Indonesia.
Namun proyek tersebut menjadi kontroversi akibat konflik kepemilikan tanah dan relokasi warga. Warga Pulau Rempang punya waktu hingga 28 September 2023 untuk meninggalkan rumahnya dan memberi jalan bagi proyek tersebut. Kelompok lingkungan hidup juga mengkritik proyek tersebut karena potensi dampak lingkungannya.
Singkat cerita, pada 2007 proyek pembangunan kepariwisataan kota Batam (Rempang Eco City) diketahui warga Rempang secara luas, dan mendapatkan penolakan. Proyek Rempang Eco City ini melibatkan PT MEG Group Artha Graha milik Tommy Winata, serta investor asing dari Singapura dan Malaysia. PT MEG mendapatkan hak pengelolaan dan pengembangan kawasan tersebut selama 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun.
Kemudian pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City dengan nilai proyek sebesar 11,5 miliar USD. Meskipun proyek ini diperkirakan mampu menarik investasi sebesar Rp 318 triliun hingga 2080, namun berimbas pada penggusuran paksa warga yang berada di kawasan proyek tersebut. Padahal warga telah bermukim, berbudaya khas, dan beranak pinak di kawasan itu sejak ratusan tahun yang lalu, terutama 16 kampung tua di Pulau Rempang.
Tidak ada kejelasan perihal hunian baru dan tempat relokasi bagi warga. Pun tidak ada kejelasan tentang kompensasi (ganti rugi) tanah dan hunian yang ditinggalkan warga. Jadi, wajar saja jika warga Rempang menolak pembangunan mega proyek itu.
Analisis dari Sudut Pandang Filsafat Hukum Positivisme
Dalam kasus rempang ini, adanya hukum yang mengharuskan proyek Rempang Eco City ini, harus didirikan dengan menggunakan sebesar 45,89% dari total luas pulau Rempang yang mencapai 16.500 hektar, dimana ketentuan ini ditentukan atau diperintahkan oleh pembentuk Undang-Undang atau penguasa. Dalam hal ini pemerintah yang diwakilkan oleh permenko bidang Perekonomian RI No. 7 tahun 2023. Dengan adanya peraturan ini suatu proyek yang hendak dibangun, harus sesuai dengan apa yang direncanakan, tanpa ada kemungkinan lain yang menghambat.
Kemudian aliran hukum positif yang murni, maksudnya aliran ini tidak memasukan moral dalam penerapan hukum, dimana hukum tersebut murni adanya tanpa adanya pertimbangan moral, apakah suatu hukum atau regulasi pada pembangunan Rempang Eco City ini, merupakan hal yang baik atau buruk dalam masyarakat.
Analisis dari Sudut Pandang Filsafat Hukum Positivisme
Dalam kasus rempang ini, adanya hukum yang mengharuskan proyek Rempang Eco City ini, harus didirikan dengan menggunakan sebesar 45,89% dari total luas pulau Rempang yang mencapai 16.500 hektar, dimana ketentuan ini ditentukan atau diperintahkan oleh pembentuk Undang-Undang atau penguasa. Dalam hal ini pemerintah yang diwakilkan oleh permenko bidang Perekonomian RI No. 7 tahun 2023. Dengan adanya peraturan ini suatu proyek yang hendak dibangun, harus sesuai dengan apa yang direncanakan, tanpa ada kemungkinan lain yang menghambat.
Kemudian aliran hukum positif yang murni, maksudnya aliran ini tidak memasukan moral dalam penerapan hukum, dimana hukum tersebut murni adanya tanpa adanya pertimbangan moral, apakah suatu hukum atau regulasi pada pembangunan Rempang Eco City ini, merupakan hal yang baik atau buruk dalam masyarakat.