Lihat ke Halaman Asli

Malul Azam

Alumni program doctoral KU Leuven Belgia

Alternatif mengurangi non-produktif spending pemerintah dengan "nudge"

Diperbarui: 3 Februari 2025   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berita dan ulasan tentang efisiensi dan penghematan anggaran saat ini ramai menghiasi pemberitaan diberbagai media masa. Pengetatan fiskal memang makin mengakrabi ekonomi dunia. Krisis kian rajin datang, namun makin enggan dihalau pergi. The Economist melaporkan hanya segelintir negara seperti Irelandia mengalami surplus pendapatan. Alhasil isu pengelolaan belanja, pendapatan dan hutang pemerintah makin memenuhi diskusi dalam pelbagai kebijakan publik.  Pastinya ada trade-off jika satu pilihan lebih diprioritaskan atau munculnya ongkos dari pilihan kebijakan yang diambil. Pengambilan kebijakan publik juga manjadi makin pelik.  Tidak optimal dan tuntasnya penyelesaian permasalahan publik sebelumnya terakumulasi turut manambah kompleksitas, menjadi apa yang dikenal sebagai wicked problem.

Meski pemerintah telah berusaha memprioritaskan anggaran, defisit tetap tak terelakan. Pemerintah berkejaran dengan waktu melakukan hal baik untuk rakyatnya, yang jika tidak segera dilakukan benefitnya cenderung tidak optimal atau malah bisa mendatangkan risiko. Oleh karenanya dari belanja yang dialokasikan, sebisanya pengeluaran tidak produktif ditekan seminimal mungkin. Terutama belanja yang tak memberikan dampak bagi masyarakat, atau menghasilkan public value. 

Presiden Prabowo dalam berbagai forum sepertinya tidak henti meng-highlight perlunya perbaikan kualitas belanja pemerintah. “Kita harus jamin setiap Rupiah uang rakyat sampai ke rakyat yang memerlukan. Kita tidak boleh toleransi terhadap kebocoran, pengeluaran yang boros, hal-hal yang tidak langsung mengatasi kesulitan rakyat, hal-hal yang tidak produktif.” Senada dengan itu pada Sidang Kabinet Paripurna perdana tanggal 23 Oktober 2023 dan tanggal 6 November 2024 agar kementerian/lembaga (k/l) melakukan efisiensi belanja perjalanan dinas pada tahun anggaran 2024. Presiden menekankan pentingnya efisiensi dalam mengelola anggaran. Sementara itu pada tahun 2025, guna mendorong efisiensi dan penghematan APBN, pemerintah melakukan efisiensi dan penghematan dengan memotong anggaran k/l dan dana transfer hingga Rp306,69 triliun.

Jika mencermati pada salah satu pos belanja yang kerap mendapat sorotan, perjalanan dinas, angkanya selalu menunjukkan peningkatan. Data laporan keuangan pemerintah pusat audited tahun 2021 belanja dimaksud mencapai Rp28 triliun, setahun kemudian menjadi 39,4 triliun, dan tahun 2023 kembali meningkat menjadi 49,9 triliun.

Selain mengupayakan efisiensi anggaran melalui mekanisme yang selama ini dilakukan, kita bisa mencoba menggunakan alternatif pendekatan perilaku, seperti nudge, untuk mengurangi alokasi anggaran tidak produktif. Mendorong perbaikan kualitas keputusan alokasi anggaran tanpa membatasi pilihan atau memaksa, melainkan dengan mempengaruhi psikologi pengambil keputusan terutama kecenderungan psikologis manusia atau perilaku alami seperti mengikuti opsi bawaan, keumuman atau norma penganggaran, atau menghindari kerugian. Pendekatan ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan tools kebijakan seperti regulasi atau pemberian insentif keuangan. Selain murah dan dapat memberikan efek jangka panjang, implementasi pendekatan ini oleh beberapa negara terbukti efektif berkontribusi dalam mereformasi sektor publik, seperti di Inggris.

Mengapa terus meningkat?

Pertanyaan seperti, mengapa alokasi anggaran perjalanan dinas terus meningkat? apakah memang kebutuhan? atau ini masih menjadi bagian dari memperoleh tambahan penghasilan bagi aparatur sipil negara di luar penghasilan pokok? Sepertinya minim perubahan perilaku k/l dalam mengalokasikan perjalanan dinas. Bisa jadi k/l hanya mendasarkannya pada tren anggaran tahun sebelumnya. Ini beralasan, meski pembahasannya dilakukan Y-1 (setahun sebelumnya), tingkat kepastian ketersediaan resource envelope bagi k/l setelah pagu anggaran. Di luar itu, pemerintah pernah menggunakan zero-based budgeting guna menghitung kebutuhan anggaran pos belanja ini setelah pandemic atau new normal. Pertimbangannya karena ternyata beberapa aktivitas untuk menghasilkan output sudah mungkin dilakukan dengan bantuan teknologi informasi, sehinggah semestinya jumlahnya makin berkurang. Alasan lain, adanya persepsi melakukan perjalanan dinas merupakan entitlement bagi pegawai pemerintah. Pekerjaan kantor tidak sepenuhnya bisa diselesaikan dari kantor, perlu visit. Terlebih adanya perbedaan gaji dan tunjangan antar pegawai negeri, seolah menjadi justifikasi memperoleh tambahan penghasilan, dimana secara hitungan tidak mencukupi. Faktor lain mentalitas “use it or lose it”, jika anggaran yang sudah dialokasikan tidak terserap ada kekhawatiran tahun depan alokasi tersebut akan dikurangi. Tengok saja, akhir tahun anggaran, bandara dan hotel sesak dengan kegiatan meeting di luar kantor atau kunjungan pusat daerah ataupun sebaliknya. Sebab lain, terkadang tidak mudah membedakan belanja perjadin yang memberikan value added atau mendukung kinerja organisasi dengan perjadin yang minim kontribusi baik bagi organisasi maupun masyarakat luas. Asimetri informasi antara budget reviewer dan penyusun anggaran juga bisa menjadi faktor penting dalam pembahasan anggaran. Kurang transparannya unit pengusul dalam menyampaikan item penggunanaan anggaran dan manfaatnya, menjadikan budget reviewer dalam waktu yang singkat sulit membedakan keduanya. Alasan terakhir, kuatnya budaya paternalistik, keteladanan dari pimpinan. Selektivitas pelaksanaan perjalanan dinas menjadi penting, karena bisa jadi benchmark bagi seluruh anggota organisasi.

Pemerintah, dalam hal ini regulator perencanaan dan penganggaran sejatinya telah memasang rambu ketat mengurangi belanja non produktif. Misalnya, sedari tahap perencanaan anggaran, selektivitas belanja seperti perjalanan dinas sudah menjadi concern. Pertanyaan guna memastikan pemilihan kegiatan dan belanja memberikan nilai tambah signifikan pada pencapaian target. Pembatasan frekuensi dan jumlah peserta perjalanan dinas dan kegiatan di luar kantor. Bahkan unit yang mereview berlapis, mulai dari unit audit internal, budget reviewer yaitu Ditjen Anggaran (Kementerian Keuangan) dan Bappenas, termasuk dalam dengar pendapat dengan komisi mitra kerja k/l di DPR pun, efisiensi anggaran perjalanan dinas menjadi hal yang disampaikan sebagai bagian efisiensi oleh k/l.  Pun, menjelang akhir tahun anggaran, perjadin masih menjadi akun yang menjadi target untuk dihemat. Jadi secara problem solving, permasalahan tersebut telah diikhtiarkan jalan keluarnya.

Mengenal pilihan tipologi tools kebijakan

Setidaknya ada tiga pendekatan tipologi tools kebijakan. Pertama tipologi policy instrument menurut Hood dalam bukunya “The tools of government” (1986) yaitu nodality, authorithy, treasure, dan organisasi. Nodality meliputi informasi dan ajakan, authority berupa penggunaan legal powers pemerintah, treasure mengacu pada pengaruh incentive keuangan, dan organisasi mengacu pada policy instrument yang mengarahkan aksi pemerintah. Di sini nudge lebih terkait dengan nodality. Pemerintah memiliki peran penting dalam jaringan informasi, yang bisa digunakan untuk mengarahkan kebijakan dan mempengaruhi warganya. Pemerintah dapat mempengaruhi berbagai nodes yang memproses informasi untuk mempengaruhi citizens dengan arahan tertentu.

Kedua, tipologi instrument kebijakan Schenider dan Ingram dalam artikel ilmiahnya berjudul “Behavioral assumptions of policy tools” (1990). Terdapat lima kelompok menurut mereka, authority tools, incentives tools, capacity tools, symbolic and hortatory tools, dan learning tools. Nudges termasuk tipologi capacity tools dan incentive tools. Capacity tools karena dilakukan dengan menyediakan informasi, pelatihan, training, dan sumber daya yang memungkinkan kelompok atau individu membuat keputusan atau menjalankan aktivitasnya (explicit instrument). Sebagai incentives karena manusia tergantung pada tangible payoffs, positive atau negative, mendorong kepatuhan atau mendorong utilisasi. Nudge dalam konteks ini terkait dengan perubahan lingkungan yang mempengaruhi appeal atas pilihan tersedia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline