Perpustakaan Sebagai Pusat Pengetahuan dan Peradaban Dunia secara berkelanjutan mempunyai peran untuk menjaga keberadaan koleksi yang dimiliki dari hal-hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kehancuran dari dampak peperangan dan bencana alam atau kerusakan dari faktor lainnya. Perpustakaan diharapkan memupunyai pusat data khusus yang dirancang untuk mengatasi permasalahan koleksi yang dimiliikinya. Pusat Data tersebut dikenal dengan disaster recovery center (DRC).
Apel pagi Perpustakaan Nasional RI, Senin, 6 Mei 2024 dipimpin oleh Kepala Pusat Preservasi dan Alih Media Bahan Perpustakan, Made Ayu Wirayati. Dalam amanahnya beliau menyampaikan bahwa Perpusnas pada masa yang akan datang lebih memastikan penyelamatan informasi melalui alih media dan pembangunan infrastuktur disaster recovery center, yaitu suatu tempat yang secara khusus ditujukan untuk menempatkan sistem, aplikasi sehingga data-data cadangan bagi seluruh informasi hasil alih media koleksi majalah langka, naskah kuno, surat kabar langka dan koleksi-koleksi yang bernilai lainnya agar dapat terlindungi, dan harus segera direalisasikan mengingat bencana bisa terjadi kapan saja tanpa kita ketahui.
Sebuah kata bijak dari Heindrich Heine ' Dimanapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.'
Apa disaster recovery center?
Mengapa perpustakaan menjadi salah satu yang berdampak ketika terjadi perang, merunut sejarah penghancuran buku ada banyak hal. Bencana alam, musuh tradisional buku seperti serangga dan suhu udara kelembaban, masalah politis, kebencian etnis dan religius adalah sebagian sebab hancurnya buku-buku.
Dan melalui buku yang ditulis Fernando Baez seorang kepala Perpustakaan Nasional Venezuela dengan judul penghancuran buku dari masa ke masa, sejarah penghancuran buku dengan kompleksitasnya terekam dengan baik. Dalam sejarahnya penghancuran buku sama tuanya dengan ditemukan buku itu sendiri. Penghancuran buku sudah terjadi di simeria kuno, sekitar 4000 tahun sebelum Masehi, di Indonesia pun penghancuran buku telah ada semenjak masa kolonial, dan bahkan hingga kini masih ditemukan.
Kebencian terhadap buku ini sering kali dieskpresikan dalam beragam bentuk, mulai dari pelarangan dan sensor hingga diekspresikan dengan cara membakar buku, menghancurkan perpustakaan bahkan membakar pengarang dan karyanya.
Perpustakaan menjadi pusat pengetahuan dunia. Tetapi ada sebuah kejadian dimana sebuah perpustakaan besar yang terkenal menjadi hilang tanpa ada jejak sedikitpun? Bahkan siapa yang bertanggung jawab atas menghilangnya perpustakaan besar tersebut masih menjadi misteri hingga kini.
Perpustakaan tersebut adalah Perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan, yang menjadi perpustakaan pertama yang penuh dengan tragedi-tragedi penghancuran akibat bencana perang, ketika perang saudara melanda Mesir akibat dari perebutan kekuasaaan yang mengakibatkan hancurnya 40.000 buku, dan perpustakaan Alexandria sendiri akhirnya hancur pada tahun 389 M akibat perang, dan tragedi penghancuran buku dikenal sebagai Bibliosida.
Tragedi penghancuran buku memberikan dampak hilangnya benang merah intelektual properti antara leluhur dan penerus bangsa mereka.