Peradaban dibentuk karena manusia menemukan cara untuk saling menularkan pengalaman, saling menularkan penemuan, saling menularkan ikhtiar dan berbagai ilmu dan imajinasi, dan salah satunya adalah dalam bentuk buku, dalam bentuk perpustakaan, demikian ungkap Kang Maman yang disampaikan pada acara seminar peningkatan indeks literasi masyarakat untuk kesejahteraan provinsi DKI dengan tema "Transformasi layanan perpustakaan Jakarta menuju masyarakat berbudaya literasi." Yang diadakan di Perpustakaan Nasional pada hari senin, 15 Agustus 2022.
Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, dan sambutan disampaikan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Reza Patria. Selain Kang Maman, juga menghadirkan narasumber Anggota Komisi X DPR HJ. Himatul Aliyah, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional Deni Kurniadi. Moderator acara ini oleh Farli Elnumeri. Acara ini merupakan bagian dari kegiatan.
Kang Maman dengan lugasnya menyampaikan Indonesia terkenal dengan negara yang jumlah perpustakaannya nomor 2 dimuka bumi setelah India. Persoalannya satu angka OECD kita ga pernah berubah, padahal perpustakaannya sudah banyak, Perda DKI jelas sebaik mungkin perpustakaan sampai ke tingkat kecamatan, bahkan perpustakaan harus sampai ke tingkat kelurahan, kalau itu terwujud kita bisa jadi nomor satu di muka bumi.
Tapi ada jaminan kemudian angka OECD kita, gemar membaca kita menjadi tinggi? tadi bu Himatul menjelaskan dengan baik bukannya menjadi tinggi ini malah kita makin turun, kurvanya menjadi sangat turun. Apa kira-kira permasalahannya?
- Perpustakaan sebagai benda mati. Temuan-temuan di lapangan, jelas masih banyak perpustakaan menyediakan benda mati bernama buku, tidak ada interaksi di sana.
- Kurangnya tenaga perpustakaan dan kompetensi pustakawan. Kang Maman mengatakan saya cuma membayangkan kalau semua perpustakaan, semua kelurahan di DKI ada perpustakaannya lalu tidak ada tenaga teknis perpustakaan, diberikan lagi ke pegawai kelurahan yang sudah sibuk ngurusin berbagai hal, apakah akan ada yang datang ke perpustakaan kelurahan? Yang kalau datang cuma ditanya, "saya mau cari buku ini, oh cari sendiri, oh tidak ada, saya bisa dapat di mana? Ga tau silakan cari ditempat lain, kalau tidak ada di sini. Maka.yang kita hadapi adalah benda mati bukan benda hidup, maka harapan saya, kalaupun nanti kita punya perpustakaan sebanyak apapun perpustakaan tolong perpustakaan dilengkapi dengan tenaga teknis perpustakaan dan yang penting pustakawan
- Literasi sekedar baca dan tulis
Coba banyangkan hari ini perpustakaan kita 164.610, pustakawanya cuma 3.596 orang artinya 1 pustakawan berbanding 46 perpustakaan.
Bagaimana perpustakaan bisa hidup, bagaiamana perpustakaan dapat mencapai tingkatan literasi seperti yang disampaikan pak Syarif Bando, bahwa perpustakaan bukan sekedar baca tulis tapi juga kemampuan mengakses buku-buku yang ada diberbagai tempat dimanapun di muka bumi.
Hari ini kita butuh pustakawan yang bisa menjadi teman kita untuk mengatakan bahwa kalau tidak ada di sini akses di sana deh, itu satu, yang kedua bagaimana kita bisa berpikir kritis kalau perpustakaan cuma jadi tempat untuk mencari buku tidak kegiatan-kegiatan Interaktif, seperti berdiskusi membuka kemampuan kita untuk berpikir kritis dan sekaligus syuku-syukur kalau menghasilkan barang dan jasa, mempraktikan apa yang ada di buku dan di perpustakaan.
Membaca membuat imajinasi melayang tanpa batas
Nail Gaiman mengatakan bahwa begini kalau hanya sekedar memproduksi kita kalah sama Cina. Kasih saja cara membuat apapun pasti orang Cina di negara Indonesia bisa. Persoalannya cuma satu. Mampukah menjadi inovator, lalu kemudian pemerintah Cina menyadari itu, lalu kemudian mengirim tenaga-tenaga nya ke berbagai negara dan menanyakan termasuk ke google, termasuk ke perusahaan-perusahaan IT yang tinggi, kok kalian bisa ya bekerja di google, kok kalian bisan ya bekerja di perusahaan- perusahaan IT yang sedemikian rumitnya. Jawaban mereka apa? Karena sedari kecil kami membaca fiksi, kami membaca buku-buku fiksi yang membuat imajinasi kami melayang tanpa batas
Sebagai kata penutup Kang Maman melontarkan narasi, Terakhir ada ga perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan yang dikelola oleh negara yang hari ini ketika kami belajar bolehlah sekolahanya tutup tetapi perpustakaannya buka di sekolah deh, jangan-jangan orang jarang datang ke perpustakaan karena perpustakaannya buka ketika anak belajar, ketika waktunya istirahat perpustakaannya ikut istirahat, begitukah di sekolah lalu kapan anak bisa masuk belajar datang ke perpustakaan, ketika istirahat lalu perpustakaannya ditutup, ketika hari sabtu perpustakaannya ikut libur, ketika hari minggu perpustakaannya ga bisa diakses. adakah yang membuka perpustakaan di sekolahnya yang katanya inklusif membebaskan warga di sekitarnya sekolahannya untuk masuk walaupun bukan warga sekolah itu, ada di Jakarta? Kalau itu tidak ada maka kita berhadapan dengan benda mati bukan benda hidup.