Pengantar
Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 2 menyebutkan bahwa "Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan".
Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan mengemban amanah sebagai tempat pembelajaran dan kemitraan bagi masyarakat yang dikelola secara profesional dan terbuka bagi semua kalangan sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan dapat diukur capaian kinerja bagi kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran sepanjang hayat merupakan kata kunci dalam pengembangan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Perpustakaan dapat mengambil peran bukan hanya sebagai pusat informasi lebih dari itu perpustakaan dapat bertransformasi menjadi tempat dalam pengembangan diri masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penulis berpendapat bahwa pembelajaran sepanjang hayat merupakan peran perpustakaan dalam memberikan layanan berbasis inklusi sosial terutama untuk perpustakaan umum.
Konsep inklusi sosial
Konsep inklusi sosial pertama kali muncul pada tahun 1970-an di Prancis sebagai respon terhadap krisis kesejahteraan di negara-negara Eropa, yang memiliki dampak yang meningkat pada kerugian sosial di Eropa. Konsep ini menyebar ke seluruh Eropa dan Inggris sepanjang tahun 1980-an dan 90-an.
Konsep ini mendapatkan perhatian yang luas setelah dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi World Summit for Social Development, Copenhagen, Denmark, 6-12 March 1995 atau dikenal dengan Copenhagen Declaration on Social Development. Deklarasi pembangunan sosial ini menekankan pada konsensus program aksi baru tentang perlunya menempatkan masyarakat di pusat pembangunan.
Pertemuan terbesar para pemimpin dunia ini yang dihadiri oleh kepala negara maupun pemerintah berjanji untuk menanggulangi kemiskinan, mendorong masyarakat yang stabil, aman, dan adil bagi masyarakat sebagai tujuan utama dalam pembagunan.
Penulis menyimpulkan bahwa konsep inklusi sosial merupakan pembangunan berkesejahteraan yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan tujuan masyarakat yang stabil, aman, dan adil.
Inklusi sosial di perpustakaan
Inklusi sosial di bidang perpustakaan mulai diwacanakan pada tahun 1999 melalui dokumen Libraries for All: Social Inclusion in Public Libraries Policy Guidance for Local Authorities in England October 1999.
Dokumen ini diterbitkan oleh Department for Culture, Media and Sport, Gov. UK. Dokumen ini membahas tentang 7 kunci dalam pengembangan inklusi sosial di bidang perpustakaan, yaitu; (1) perlunya inklusi sosial di perpustakaan umum, (2) kontek inklusi sosial, (3) identifikasi dan hambatan keterlibatan masyarakat, (4) kebijakan inklusi sosial, (5) sarana untuk mencapai tujuan, (6) tantangan yang dihadapi perpustakaan, (7) proses konsultasi.
Dokumen ini juga memaparkan tentang pengertian perpustakaan berbasis inklusi sosial, yaitu perpustakaan proaktif yang dapat membantu idividu dan masyarakat untuk mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri, dan membantu meningkatkan jejaring sosial. Perpustakaan juga mendukung komunitas, orang dewasa dan keluarga untuk belajar di perpustakaan.
Terhadap latar belakang ini, penting bahwa layanan yang ditawarkan perpustakaan harus siap dapat diakses oleh semua yang membutuhkan. Sehingga Layanan perpustakaan dapat merangkul kalangan seluas mungkin.