Dari banyaknya pahlawan muslim di indonesia, terdapat salah satu nama yang sangat nyentrik serta tak asing di kepala, bahkan saking terkenalnya ia dijuluki " The Grand Old Man" (orang tua besar). Ialah KH. Agus Salim, julukan tersebut ia dapat kurang lebih pada tahun 1946 - 1950. Ketika itu beliau berlaku seperti laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia.
MASA KECIL THE GRAND OLD MAN
Sebelum dikenal dengan nama KH. Agus Salim, beliau bernama Masyhudul Haq yang berarti pembela kebenaran. Orang dulu percaya bahwa nama adalah doa, sehingga dengan nama tersebut orang tuanya berharap bahwa kelak ia akan menjadi orang yang berguna suatu saat nanti. KH. Agus Salim kecil lahir di minang, Kota Gadang Bukittinggi, Sumatra Barat tepatnya pada tanggal 8 Oktober 1884. Ayahnya bernama Sutan Muhammad Salim merupakan seorang jaksa di sebuah pengadilan negri, sedangkan ibunya Siti Zainab merupakan perempuan yang cukup dihormati di kampungnya. Nama Agus Salim sendiri sebenarnya sebutan yang tidak di sengaja, hal itu terjadi memang betul-betul tidak disengaja karena kebetulan keluarga Sutan Muhammad Salim mempunyai pembantu orang jawa, yang pada saat itu sering memanggilnya dengan sebutan gus. Dari situlah orang-orang sekitar memanggilnya dengan sebutan agus.
Dalam dunia pendidikan KH. Agus Salim sangat cerdas, Di usia yang sangat muda beliau merupakan lulusan terbaik pada tahun 1903 di HBS (Hogore Burger School) yang merupakan tempat menempuh pendidikan yang terpandang pada masa itu. Bukan hanya itu, kecerdasanya pun dapat dibuktikan dengan kemampuanya menguasai bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, Jerman, Belanda, Turki dan Prancis. Berkat kecerdasanya itu, KH. Agus Salim mendapat kesempatan dari pemerintah belanda untuk bekerja sebagai penerjemah konsultan Belanda di Jeddah. Bukan hanya itu sepulangnya dari Jeddah beliau juga sebagai penasihat sekolah rakyat yang bernama HIS (Hollansch Inlandsche shool).
KECERDASAAN MENUJU KEBERKAHAN
Sesampainya di Jeddah, KH Agus Salim mulai mempelajari seluk beluk diplomasi internasional yang menurutnya sangat berharga, kesempatan ini sangat beliau manfaatkan sebagai bekal perjuanganya dikanca dunia. Bukan hanya itu di Jedda juga beliau mulai mendalami ajaran Islam secara mendalam sembari bekerja di konsultan Belanda. KH Agus Salim mengartikan islam sebagai pandangan hidup individu muslim dan menjalankan ajaran islam secara sadar akan tugas dan kewajibanya didalam masyarakat. Dalam hal ini, beliau juga mempunyai sesuatu yang berbeda terkait ajaran Islam, dibeberapa kesempatan beliau mencoba untuk membeda isi al-Qur'a dan mengadakan perbandingan dengan dengan kemajuan yang ada di dunia barat, yang akhirnya beliau menyimpulkan bahwa kemunduran umat islam terjadi karena salah dalam menafsirkan ajaran islam.
Sepulangnya dari Jedda, beliau mulai menata kembali karirnya di tanah kelahiran. Ada hal yang menarik di Minang bahkan mungkin di seluruh daerah di Indonesai, terdapat tradisi turun temurun yang sampai saat ini masih dijalankan seperti, pemanggilan nama haji bagi orang yang baru pulang dari mekkah dan menunaikan ibadah haji. Hal itu pun berlaku pada Agus Salim sehingga namanya berubah menjadi KH Agus Salim, sebagai bentuk hormat dan takzim kepadanya, sebab orang yang telah menunaikan haji dianggap sebagai orang yang mumpuni dalam hal pengetahuan agama. Sehingga sepulangnya dari Jeddah beliau sering disuruh menjadi imam sholat berjamaah serta memberikan ceramah kepada masyarakat.
Yang menarik dalam pemanggilan atau pemberian nama haji itu ialah ditunjukan untuk memberi sebuah label atau stempel sehingga governen atau pihak penjajah lebih muda untuk mengawasi dan memantau aktivitas umat islam di Hindia khususnya para ulama dan pimpinan pondok pesantren. Lebih dari itu, penjajah menyakini bahwa persatuan umat islam akan menjadi ancaman bagi mereka. Kekhawatiran jika persatuan dikalangan umat muslim terjadi akan mengakibatkan pemberontakan yang tentu akan menjadi ancaman besar bagi penjajah.
KIPRAH POLITIK SANG DIPLOMAT
Sejak kecil sang diplomat mudah sudah senang membaca, sama seperti ayahnya. Tetapi terdapat perbedaan dalam hal bacaan seperti ayahnya lebih suka membaca buku sejarah dan sastra, sedangkan sang diplomat muda lebih tertarik membaca buku yang membahas soal politik, hal itu iya dapatkan dan semakin menggila ketika beliau kembali ke Jeddah. Beragam buku serta majalah yang ditulis ulama timur tengah beliau kaji diantaranya seperti karya jamaludin al-afghany. Karya merekalah yang mempengaruhi pola pikir beliau, sehingga sang diplomat itu menjaga jarak dengan pemerintah kolonial belanda, meski demikian komunikasi masih terus berjalan dengan mereka.
Ketika masih mengajar di HIS, berbagai macam surat kabar yang berisi terkait perpolitikan semakin kencang diperbincangkan di sumatera. Terlebih kabar yang beliau dapat ialah terdapat salah satu organisasi bernama serikat islam yang didalamnya berisi tentang politik dan agama, serta tujuan yang jelas yaitu, menentang segala bentuk imprealisme dan kolonialisme yang terjadi pada Saat itu. Maka dengan itu saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari HIS dan pergi ke tanah jawa.
Sesampainya di tanah jawa, beliau bekerja sebagai telik sandi atau mata-mata, yang kebetulan ditugaskan untuk memata-matai sosok yang cukup lama ia kagumi serta kelak menjadi patner perjuanganya dalam perpolitikan, beliau bernama raden mas tjokroaminoto. Dari sini lah semuanya dimulai, kekagumanya terhadap raden mas tjokroaminoto, membawanya ikut organisasi islam terbesar pada saat itu yang bernama Serikat Islam. Lebih dari itu, berkat kepiawaian dalam berbahasa asing beliau juga disebut sebagai diplomat ulung Indonesia dan disegani dikancah internasional. Itu semua dapat dibuktikan pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1947, beliau diutus oleh Muhammad Hatta beserta 18 orang lainya untuk melakukan misi diplomasi yang bertujuan agar mereka bersedian menjalin kerjasama dengan bangsa indonesia dan mengakui kemerdekaan indonesia secara De Jure, negara-negara tersebut diantaranya ialah Mesir, Lebanon,dan Suriah. Kipranya dikanca internasional tidak berhenti disitu, ditahun yang sama beliau pernah ditunjuk sebagai wakil ketua delegasi RI di Inter-Asian Relation Conference di India, dengan demikian beliau ditunjuk sebagai menteri luar negri pertama bangsa Indonesia, dan puncaknya tahun 1949 beliau ditunjuk untuk menjadi penasehat menteri luar negri.
USIA SENJA SANG DIPLOMAT
Di usia yang tidak lagi muda, setelah beliau mengundurkan diri sebagai menteri luar negeri, kurang lebih pertengahan 1953, beliau berangkat ke Amerika untuk memenuhi undangan untuk mengajar mata kuliah " pergerakan dan cita Islam Indonesa" kurang lebih tiga bulan di Cornell University. Sepulangnya dari Amerika, beliau benar-benar ingin mendedikasikan sisa hidupnya dalam dunia pendidikan yang kemudian disambut hangat di (PTAIN) Perguruan tinggi agama islam negeri yogyakarta dan diminta menjadi Guru Besar Agama Islam disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H