"Bangsa Indonesia adalah bukan bangsa yang menyerah dan pasrah pada ketidakadilan. Bangsa Indonesia juga bukanlah bangsa yang memiliki 'mentalitas menerabas' dalam membangun peradabannya yang berkelas"
Wacana dilaksanakannya people power menjadi sangat popular di Indonesia menyusul perkembangan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum sejak tanggal 17 April 2019. People power merupakan suatu hasil kulminasi dari pertentangan antara klaim petahana maupun oposisi.
Pemerintah Republik Indonesia yang juga sedang dipimpin oleh petahana yang turut serta dalam kompetisi pemilihan calon presiden mengklaim bahwa Pemilu tahun 2019 kali ini dapat berjalan lancar, sukses, jujur dan adil. Namun di lain pihak, oposisi pemerintah yang digawangi oleh Prabowo Subianto dengan sangat lantang menyuarakan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu yang terstuktur, massif, dan brutal.
Klaim pemerintah bahwa Pemilu 2019 telah berjalan dengan aman, damai, lancar, jujur dan adil terlontar dari setiap corong-corong petahana, tidak terkecuali Menkopolhukam; Wiranto dan juga Presiden Joko Widodo sendiri sebagai kontestan. Sehingga mampu kita simpulkan secara sederhana klaim tersebut adalah klaim dari pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat yang juga termasuk kontestan.
Pemerintah yang berdaulat adalah manifestasi kemapanan. Premis tersebut didasarkan atas fakta bahwa pemerintah adalah suatu institusi kekuasaan yang memiliki semua alat dan media untuk dapat memastikan agenda kebenaran menanungi kehidupan institusi negara. Suatu narasi dari sebuah kemapanan harus dibuktikan kebenarannya dengan metode ilmiah. Metode ilmiah yang tepat digunakan untuk menganalisis narasi dari kemapanan adalah metode anti kemapanan; yaitu metode falsifikasi (Karl Popper). Falsifikasi adalah metode yang mencari fakta-fakta yang tidak mendukung pembenaran sebuah narasi/gagasan untuk membatalkan sebuah kebenaran narasi. Hanya dengan metode itulah kita dapat tetap menghadirkan dialektika dalam memastikan kesahihan narasi pemerintah yang memiliki segala alat untuk merumuskan narasi yang sudah harus sangat absah.
Lain hal nya dengan petahana, oposisi juga memiliki misi menghadirkan dialektika yang dilakukan dengan menghadirkan kontra-narasi petahana. Oposisi sebagai pihak politik yang tidak sedang menjalankan kekuasaan, tentu memiliki keterbatasan alat dan sumber daya untuk memastikan kesahihan narasi yang dihasilkan. Sehingga memang oposisi identik dengan menghadirkan praduga.
Oposisi dalam sistem politik demokrasi juga berkewajiban menghadirkan keyakinan pada rakyat bahwa penyelenggaraan negara; termasuk Pemilu dalam konteks ini, telah berjalan di atas rel kebenaran dan keadilan.
Namun perlu diingat bahwa kebenaran dan keyakinan hakiki adalah kebenaran dan keyakinan yang telah melewati masa krisis, yaitu masa dimana keyakinan itu diragukan. Rene Descartes mengilhamkan kepada manusia yang rasional agar 'de omnibus dubitandum'.
Terjemahan bebas dan liar atas dictum Descartes kira-kira adalah 'ragukan segala sesuatu hingga menemukan bukti yang mampu meyakinkanmu'. Sehingga jalan berpikir dan berikhtiar oposisi sudah memang seharusnya meragukan kesahihan pemerintah sebagai langkah awal yang dilanjutkan dengan mengumpulkan fenomena dan bukti yang mendukung objektifnya praduga yang dilayangkan. Metode berpikir yang tepat untuk oposisi adalah metode positivisme; memverifikasi kebenaran praduga/narasi dengan beberapa bukti.
Latar belakang prinsip demokrasi bahwa narasi pemerintah sudah selayaknya difalsifikasi dan narasi oposisi membutuhkan verifikasi yang sudah selayaknya memandu kita menganalisis dinamika hasil Pemilu Indonesia tahun 2019.
Pemerintah yang segera mengumumkan penilaian bahwa Pemilu 2019 telah sukses, berjalan lancar, dan adil telah berhasil difalsifikasi oleh temuan-temuan kecurangan Pemilu 2019 oleh tim kampanye nasional kandidat oposisi; Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Narasi pemerintah dapat dilacak melalui laman ini .