Lihat ke Halaman Asli

Mengingat Kembali Ingatan Soal Nu

Diperbarui: 27 Juni 2024   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soeharto menyalami Gus Dur, disaksikan KH As'ad Syamsul Arifin dan KH Achmad Siddiq (Foto: koleksi Pesantren Salafiyah Syafi'iyah)

Aku tidak akan banyak menyoal asas-asas dalam NU ataupun jalur ideologis yang dipakai, apalagi dalil-dalil yang dijadikan dasar dalam menjalankan organisasi. Bukan kapasitasKu untuk menjelaskan itu. Namun, Aku sangat hanya ingin menyampaikan apa yang ku ingat dari guruku tentang NU.

Tentu yang ku maksudkan adalah kerinduan ku terhadap  NU yang ditampakkan dalam sikap nyata seorang Kiai As'ad. Beliau tidak takut dengan penguasa seperti Soeharto, namun juga tidak bersikap kurang ajar. Kiai As'ad menunjukkan bahwa kita bisa mempertahankan prinsip dan mengkritik kebijakan dengan tetap memegang teguh akhlak Islamiah dalam berhubungan dengan kekuasaan. 

Masih lekat ingatan, cerita tatkala Kiai As'ad harus menemui Soeharto secara langsung lantaran asas tunggal Pancasila yang dirumuskan Soeharto berkemungkinan mengganti aqidah keislaman. Di era itu, anak SD saja harus di-briefing tentang apa yang harus dikatakan ketika bertemu Soeharto. Tidak ada yang boleh mengkritik, apalagi langsung berhadapan dan menggugat kebijakannya. Resikonya begitu besar, bisa dikriminalisasi atau bahkan hilang begitu saja.

Namun, Kiai As'ad melakukannya. Ia bertemu langsung dan mempertanyakan kebijakan Soeharto. Setelah dijelaskan bahwa Pancasila tidak berarti penyeragaman iman atau mengganti akidah Islam, melainkan bisa berdampak baik pada persatuan negara, Kiai As'ad menjadi yang terdepan membela ide tersebut.

Bahkan pada tahun 1983, Kiai As'ad Syamsul Arifin sebagai tuan rumah Muktamar NU menanggung konsumsi dan penginapan untuk ribuan peserta selama beberapa hari. Sebagian besar biaya tersebut berasal dari kantong pribadi beliau, yang jika dikurskan dengan nilai mata uang rupiah sekarang, bisa mencapai miliaran rupiah. Hal ini dilakukan demi mendukung perjuangan NU kembali ke Khittah 1926, menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Nu dan kesetiaan pada nilai

Dari kasus tersebut, Kiai As'ad Syamsul Arifin memperlihatkan NU sebagai lembaga yang tidak hanya berani dan setia pada nilai-nilai, tetapi juga memiliki keberanian untuk menegur kekuasaan jika melakukan hal yang tidak sesuai dan cenderung sewenang-wenang. Sikapnya mengingatkan bahwa NU harus tetap teguh pada nilai-nilai luhur tanpa mengorbankan integritas, meskipun diberikan jabatan atau privilese oleh kekuasaan.

Kiai As'ad mengajarkan bahwa kepatuhan pada nilai-nilai luhur dan keadilan harus menjadi prioritas utama bagi setiap individu dan lembaga, termasuk NU. Sikap yang konsisten dalam mengkritik dan menegur kekuasaan yang melenceng dari nilai-nilai tersebut merupakan bentuk komitmen untuk mempertahankan integritas dan kebenaran.

Menjadi bagian dari kekuasaan tidak lantas membuat seseorang atau sebuah lembaga menjadi bungkam terhadap ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, seperti yang tercermin dalam sikap Kiai As'ad, keberanian untuk mengingatkan dan menegur adalah tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, yang harus dijaga dengan teguh demi kebaikan bersama dan keadilan sosial.

Hari-hari ini, Aku merasa resah melihat posisi NU yang sepertinya nyaman terlena oleh kedekatannya dengan kekuasaan, bahkan terlihat tidak lagi memprioritaskan nilai-nilai yang seharusnya menjadi pijakan utamanya. NU, yang dalam sejarahnya dikenal dengan semangat perlawanan dan kemandiriannya, tampaknya mengalami degradasi nilai lantaran kedekatan dengan kekuasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline