Diskusi menarik seputar batasan umur seseorang boleh menikah masih terus berlangsung hingga kini. Secara global, masyarakat terbelah pada pro dan kontra pernikahan dini. Makna pernikahan dini pun sebenarnya berpotensi melahirkan polemik karena masing-masing pihak bertahan dengan argumentasi tentang berapa umur yang layak menikah, baik untuk laki-laki atau perempuan. Pro kontra itu ditambah lagi adanya perbedaan sudut pandang apakah hakekat perkawinan itu adalah akad atau persetubuhan. Belum lagi soal cara pandang apakah perkawinan, khususnya perkawinan anak itu merupakan terminologi agama atau kesehatan.
Dua argumentasi yang tidak akan pernah bisa bertemu ini kemudian membutuhkan kehadiran negara. Oleh sebab itu, konstitusi mengatur dalam UU No 1 tahun 1974 tentang berapa umur yang layak bagi pasangan manusia untuk menapaki jenjang hidup berumah tangga. Pasal 7 dalam undang-undang tersebut menyebutkan laki-laki yang diizinkan menikah adalah berusia 19 tahun, sedangkan perempuan berusia 16 tahun.
Mengapa disebut persoalan kontemporer? Hal ini disebabkan munculnya gagasan dari sebagian masyarakat yang menginginkan perubahan UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Salah satu yang ingin diubah adalah batasan diperbolehkannya seorang perempuan menikah menjadi 18 tahun. Bahkan, untuk kepentingan itu, sudah ada uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam ranah kajian akademik, gagasan seperti itu akan berhadapan dengan gagasan lain yang tentu juga memiliki argumentasi kuat.
UU Perlindungan Anak menyebutkan usia anak adalah sebelum berusia 18 tahun. Sementara UU Perkawinan mengintrodusir tiga jenis usia, usia dewasa untuk dapat mandiri adalah 21 tahun, usia pengampuan orang tua/wali hingga usia 18 tahun, serta usia dapat diizinkan menikah, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Usia 19 dan 16 tahun ini diasumsikan sebagai batas minimum dapat diberi izin oleh orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Ini semacam alternatif terakhir, karena pada hakekatnya usia dewasa dalam UU Perkawinan adalah 21 tahun. Jika dibaca seperti ini, UU Perkawinan sangat progressif dalam memberikan perlindungan. Dengan demikian, penentuan batas usia 19 bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan dalam UU Perkawinan menjadi kurang relevan dalam konteks perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki kepentingan atas isu ini karena publik harus diberi pemahaman komprehensif terhadap apa yang disebut batas usia menikah. Sebagai lembaga negara, KPAI hadir untuk melindungi anak-anak Indonesia. Secara garis besar lingkup perlindungan anak dibagi menjadi dua, yakni pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Pemenuhan hak anak berupa hak agama, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial. UU Perkawinan memposisikan kedudukan perkawinan sebagai terminologi agama, yang mengkaitkan keabsahannya dengan didasarkan pada ketentuan agama. Sementara, bagian dari hak dasar anak adalah pemenuhan hak agama. Dengan demikian, diskursus usia kelayakan menikah, harus dikembalikan pada norma agama. Akan tetapi, sungguhpun ia merupakan term agama, dalam pelaksanaannya tetap harus menjamin hak dasar lain seperti hak kesehatan (misal hak kesehatan reproduksi), hak pendidikan (menjamin keberlangsungan pendidikan), dan hak sosial.
Sementara itu perlindungan khusus anak mencakup perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Anak harus dilindungi dari perkawinan karena motif ekonomi dari orang tua, pun dilindungi dari tindak kekerasan dan/atau pemaksaan. Dari perspektif perlindungan anak, pencabulan dan tindak kekerasan seksual dengan anak yang belum berusia 18 tahun adalah kejahatan. UU Perlindungan Anak memberikan ancaman kurungan penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta.
Dari data 2011-2014, rebutan kuasa asuh menempati kasus tertinggi persoalan rumah tangga. Dari 2.615 kasus rumah tangga, ada 913 kasus rebutan kuasa asuh yang masuk ke KPAI. Mayoritas usia pasangan suami istri sudah dewasa secara biologis. Data ini menunjukkan bahwa persoalan rumah tangga tidak semata dikooptasi pada persoalan umur secara kuantitatif. Mengaitkan pembatasan usia seseorang boleh menikah secara ekstrem dengan persoalan kehidupan rumah tangga menjadi tidak relevan. Usia kuantitatif tidak mampu menjamin kehidupan bahagia pasangan dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Publik sebaiknya tidak terjebak pada usia kuantitatif seseorang jelang pernikahan. Jika ini yang dijadikan sandaran, maka tolok ukurnya akan menjadi rumit dan mengundang polemik yang justru kontraproduktif bagi upaya perlindungan anak secara substantif. Dalam regulasi, penentuan usia kuantitatif beraneka macam. Dalam UU Kepemudaan, mereka yang sudah berusia 16 tahun disebut pemuda, sudah tidak disebut anak. Sementara dalam UU Pemilu, mereka yang berusia 17 tahun sudah dianggap dewasa dan bisa mengikuti pemilihan umum. Berbeda pula dalam usia kecapakan kerja, UU Ketenagakerjaan menyebutkan usia 13-15 tahun masuk dalam kategori dimungkinkan bekerja ringan.
Selain persoalan usia, isu ini juga menjadi polemik jika perspektif yang digunakan adalah makna pernikahan itu sendiri, sebuah akad ataukah persetubuhan. Jika pernikahan itu dimaknai sebagai akad maka konsekuensinya adalah aspek administratif keperdataan, sepanjang anak memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum. Solusi dari perspektif ini pernikahan anak yang sudah cakap hukum tidak masalah dengan syarat tidak ada hubungan seksual hingga dewasa.