Selama pilkada putaran 1, banyak yang memuja-muji Anies dengan performa debatnya. Tak terkecuali puja-puji di kultwit special Tempo di akun ini. Sayang yang dinilai hanyalah cara bicara puitis dan seolah kritis.
Beberapa survei memang memperlihatkan warga senang dengan cara Anies-Uno berkomunikasi di panggung debat. Padahal jika ini adalah masalah nasib kita 5 tahun ke depan, maka yang perlu dinilai adalah originalitas dan rasionalitas ide dan program yang ditawarkan. Bukan mendayu-dayunya cara berpuisi dalam menyampaikan program tersebut.
Apalagi Anies dari awal sudah menantang Ahok dan Agus untuk berfestivalisasi gagasan, yang sayangnya bukan itulah yang terjadi. Seharusnya ide-ide yang disampaikan segera dicatat, diperbincangkan, dan dicari kelemahan-kelebihannya oleh masyarakat sebelum masuk ke bilik suara.
Salah satu ide yang sebenarnya sangat kontroversial dari Anies Baswedan adalah ide DP 0% untuk membantu rakyat kecil memiliki rumah sendiri. Memang sungguh manis terdengar, karena di masyarakat kita sungguhlah impian memiliki rumah tapak (rumah tapak berarti rumah tunggal yang sering kita lihat dan artikan sebagai rumah sebenarnya, bukan dalam bentuk rumah susun) adalah sebuah tujuan adiluhung sepanjang umur.
Belum lengkap rasanya foto keluarga bersama anak dan cucu bila belum dilakukan di depan rumah tapak milik sendiri. Rumah susun atau apartemen masih dianggap bagian dari gaya hidup anak-anak muda yang masih single atau pasangan muda.
Anies berkoar bahwa berdasarkan masukan dan hitung-hitungan Sandiaga Uno yang dia tasbihkan layaknya Usman bin Affan, ia bisa menghadirkan skema pencicilan rumah tapak tanpa harus membebani masyarakat dengan DP 0% dan masa angsuran 30 tahun. Dengan kata lain, tidak perlu membayar di muka. Kontan saja ini membuat kita mengerinyitkan dahi. Bagaimana mungkin Bank sebagai lembaga pembiayaan membuat pembiayaan sehebat itu?
Tentu kalau dari sisi calon pemilih yang ingin dibuai dengan janji manis, janji ini sungguh menggiurkan. Siapa yang tidak mau memiliki rumah tanpa harus dijegal syarat-syarat memberatkan. Dan membayarnya begitu ringan karena dibagi dalam 30x12 bulan pembayaran, alias 360 kali! Wow....
Tapi sebagai akademisi, harusnya Anies tidak boleh sibuk membangun gagasan hanya mengandalkan sisi pandang satu kelompok saja. Lebih lanjut lagi, harusnya ia mempertimbangkan regulasi yang ada, kisaran harga tanah, hingga ketersediaan lahan, dan lebih jauh lagi harusnya ia mempertimbangkan apa dampak yang akan terjadi dengan kebijakan yang ia siapkan. Bukan masalah bisa apa tidak bisa saja.
Bagaimana mungkin Bank bisa membiayai seperti itu? Padahal Bank Indonesia sendiri telah membuat regulasi bahwa DP harus setidaknya 15% untuk menjaga keamanan bisnis bank. Peraturan ini tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016
Kenapa harus ada DP? Karena DP adalah bentuk komitmen pencicil kepada kreditor. Adanya DP yang cukup, tidak terlalu mahal atau terlalu murah, akan membuat pencicil merasa memiliki tanggung jawab karena ada aset miliknya yang sudah tertanam di situ.
Apa yang terjadi bila rumah diberikan 0%? Jelas spekulan akan berdatangan mengaku-aku butuh rumah, lalu mengambil cicilan yang harusnya menjadi jatah warga kecil. Toh tidak ada resiko harus kehilangan DP. Begitu kemudian berhasil, rumah dijual kembali dengan harga mahal, sehingga program ini malah kehilangan sasarannya. Bagaimana kalau gagal cicil? Ya sudah pura-pura tidak tahu saja atau tinggal ngotot tidak mau disita dan dilelang. Lalu panggil LSM dan media untuk membela seolah sebagai rakyat kecil yang teraniaya oleh Bank.