Bagi sebagian orang berkuliah di luar negeri bisa terbilang sangat sulit, mengingat prasyarat yang ditetapkan tidak main-main, seperti harus pandai berbahasa Inggris yang ditandai dengan skor TOEFL atau IELTS yang tinggi dan segudang prestasi akademik dan non-akademik yang pastinya sangat mumpuni.
Tidak hanya itu hambatan untuk bisa berkuliah di luar negeri bukan soal permasalahan pribadi, terdapat keluarga yang harus ditinggalkan berjauhan jarak dan waktu hanya bisa berjumpa dengan alat telekomunikasi saja. Terkadang hal diluar kemampuan diri yang seringkali menjadi penghambat untuk berkuliah ke luar negeri.
Selain itu, hambatan lainnya yang juga tidak kalah sulit, yaitu jumlah pemburu beasiswa terkhusus di Indonesia sangat ketat, masyarakat Indonesia sudah sadar akan benefit yang didapat, jika berkuliah di luar negeri, salah satunya mendapatkan pengalaman belajar dari negara maju.
Dari sekian banyaknya hambatan tersebut, tidak jarang ada orang yang merasa takut untuk mencoba, alhasil mereka gagal sebelum berperang. Hal demikian tidak terjadi oleh seseorang yang bernama Imadduddin, pria asal Depok ini berhasil melewati semua hambatan yang dilaluinya dengan semangat dan optimisme yang tinggi.
Imadduddin percaya, bahwa semua orang punya mimpinya masing-masing, semua bisa terwujud tergantung dari diri sendiri apakah ingin mewujudkan mimpi tersebut atau hanya sekadar mimpi tersebut menjadi teman dikala hendak tidur saja. Semua kembali kepada diri sendiri.
Berkuliah ke luar negeri kata Mas Imad harus punya tujuan yang jelas, bukan sekadar lama tidak mendapatkan pekerjaan di Indonesia terus hendak mengambil peruntungan dengan kuliah ke luar negeri tanpa tujuan yang jelas, Mas Imad menyayangkan semisal ada pribadi yang seperti ini.
Berkuliah ke luar negeri harus punya tujuan yang jelas, bukan hanya sekadar jalan-jalan saja lalu upload status, bukan seperti itu. Dengan berkuliah ke luar negeri minimal ada hal positif untuk dibawa ke Indonesia, semisal belajar etos kerja masyarakat sana, bagaimana masyarakat sana hidup berdampingan dengan lingkungan dsb.
Salah satu contoh yang bisa Penulis ambil dari orientasi Mas Imad kenapa ingin berkuliah di luar negeri salah satunya, yaitu ingin mengambil ilmu dari sana untuk kemudian diterapkan di Indonesia demi bagian dari mensejahterakan rakyat.
Mas Imad sadar, bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih kalah baik kualitas maupun kuantitas dari kampus luar negeri, salah satunya kampus King College London tempat Mas Imad menuntut ilmu disana dengan jurusan international relation.
Mas Imad menyampaikan bahwa salah satu indikator kecil perbedaan negara maju dan non-maju bisa dilihat hanya dari gemerlapnya lampu di malam hari, Mas Imad menyampaikan kalau negara maju pada malam hari penuh dengan cahaya lampu, sedangkan di negara non-maju cahaya lampu hanya terlihat pada beberapa wilayah di negara tersebut.
Indikator yang digunakan sangat sederhana hanya cahaya lampu di malam hari, tidak perlu memakai indikator GDP, indeks pembangunan manusia dsb. Dari perjalanan pendidikan Mas Imad tentu kita bisa meneladani, bahwa orientasi itu menjadi penting sebagai langkah awal untuk mencapai sesuatu. Semoga kelak kita bisa berkuliah di luar negeri dengan orientasi yang mulia, layaknya Mas Imad.