Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam seolah-olah digiring ke dalam suatu hegemoni politik rekognisi yang terkadang membuat umat muslim menjadi terpecah belah.
Dalam konteks Indonesia, gejala dinamika umat Islam secara laten terus berkembang dan kian mengakar kuat di setiap lapisan masyarakat.
Jauh sebelum berkembangnya Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) ataupun Jamaah Anshoru Daulah yang menegasikan negara-bangsa dan terasosiasi ke dalam sebuah komunitas lintas-batas territorial pada era kontemporer, meskipun lingkupnya bersifat local-nasional gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah berkembang sejak era kemerdekaan.
Bangkitnya global ummah, konservatisme Islam, maupun populisme Islam di Indonesia sebagai implikasi dari keterbukaan demokrasi dan budaya masyarakat, semakin membuat dinamika gerakan Islam sayap kanan sulit untuk didikte.
Hal ini merupakan suatu strategi untuk mengukuhkan politik rekognisi gerakan tersebut sekaligus repons ketidakpuasan itu terhadap sistem demokrasi ataupun tokoh penting di balik sistem demokrasi tersebut (presiden, menteri, dsb).
Dalam perkembangannya saat ini, strategi perjuangan dari yang awalnya hanya sebatas meluapkan aksi reaksionernya dengan turun ke jalan, sekarang hal itu lebih bersifat visioner, yakni berpartisipasi dalam syariatisasi konstitusi negara (Hiariej dkk, 2017, 306).
Pada akhir 2016, setelah terjadinya gerakan 212 yang melibatkan umat muslim yang waktu itu berkumpul di Monas sebanyak enam juta jiwa, atas kejadian peristiwa monumental tersebut proyek islamisasi semakin menunjukan eksistensinya sekaligus membuka tabir baru dalam dinamika perpolitikan di Indonesia.
Sejak saat peristiwa monumental itulah, umat Islam sebagai entitas agama populis di negeri ini semakin menguat dan peranan partai politik sebagai representasi rakyat semakin terabaikan (Fealy, 2016).
Peristiwa tersebut dibuktikan dengan munculnya aktor-aktor politik baru yang lahir dari gerakan tersebut seperti Habib Rizieq Shihab, Bachtiar Natsir, Haikal Hassan, Slamet Ma'arif dan Zaitun Rasmin yang bukan hanya mampu menjadi magnet penggerak kalangan populis Islam, melainkan menjadi figur baru pemimpin alternatif di luar lingkungan elit partai politik.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus baik itu di Pilkada dalam beberapa kasus maupun di Pilpres, elit Gerakan 212 ikut dilibatkan oleh partai politik guna mendongkrak suara massa (Fealy, 2016).
Dalam konteks politik kewargaan, fenomena Gerakan 212 bukan sebatas hanya menunjukan kebangkitan populisme Islamm melainkan juga menggebrak kemapanan oligarki elit dalam mengkooptasi ruang politik dan institusi negara dari yang bersifat relasi patron-klien kea rah relasi populis massa.