Angka prevalensi stunting dan malnutrisi Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di negara-negara ASEAN, di mana satu dari tiga anak Indonesia berusia di bawah lima tahun mengalami stunting (Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2019).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru terlihat setelah anak berusia 2 tahun.
Indikator stunting adalah dengan melihat panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -- 3SD (severely stunted)(Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 30,8%, Soft Launching Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Oktober 2019 prevalensi stunting turun menjadi 27,67% (Kementerian Kesehatan, 2020). Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menekankan penurunan angka stunting ditargetkan menjadi 19% pada 2024 (Kementerian Kesehatan, 2019).
Penurunan angka stunting menjadi perhatian khusus pemerintah Indonesia. Pemerintah melalui melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2013 menyatakan komitmennya dalam upaya percepatan perbaikan gizi dengan mencanangkan Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan Perbaikan Gizi.
Gerakan ini sebagai upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Penyebab stunting diantaranya adalah kekurangan gizi kronis pada anak dalam jangka panjang, retardasi pertumbuhan intrauterine, kebutuhan protein tidak tercukupi sesuai proporsi total kalori, perubahan hormone dan infeksi pada awal kehidupan anak. Lebih lanjut asupan zat gizi makro dan mikro juga dapat dilihat sebagai faktor determinan (Syagata & Mahfida, 2013; Teshome et al., 2010).
Masalah stunting bukan hanya merupakan gangguan pertumbuhan fisik (bertubuh pendek/ kerdil), melainkan juga berpengaruh terhadap perkembangan otaknya, yang tentunya akan mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas, dan kreativitas di usia-usia produktif. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil untuk mencegah stunting (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Hal tersebut untuk memberikan pemenuhan gizi yang adekuat pada ibu hamil dan balita. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan pada anak cenderung over-estimate sumber karbohidrat dan sayuran, serta under-estimate sumber protein hewani, protein nabati, dan buah (Mahfida, 2020).
Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan program perbaikan gizi masyarakat yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi pada balita.