Mulai memasuki bulan Juni, kita semua pasti mulai mendengar "huru-hara" Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB, terutama pada PPDB pada sistem zonasi. Kebijakan zonasi bukanlah kebijakan yang baru diterapkan baru-baru ini. Melansir website resmi Kemdikbud, kebijakan ini telah diterapkan sejak tahun 2017 lalu, berlandaskan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB. Di dalam pasal 16 disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Sejak awal diterapkannya, kebijakan ini tentu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak. Meskipun pada awalnya, zonasi bertujuan untuk menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Sistem zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen; dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan/afirmasi agar lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Namun, bagaimana realita di lapangan?
Pada kenyataannya, sistem zonasi sering kali malah dimanfaatkan untuk menjadi sarana kecurangan oleh oknum-oknum tertentu. Banyak sekali kasus-kasus "pindah KK", demi bisa bersekolah di sekolah yang tergolong favorit di kotanya. Hal ini tentu merugikan siswa-siswi yang memang benar tinggal di sekitar sekolah. Sering kali terjadi kasus, siswa yang rumahnya dekat dari sekolah tidak diterima di sekolah negeri, tetapi siswa yang tidak tahu siapa, bahkan jarak rumah ke sekolahnya tidak masuk akal, kurang dari 100 meter saja, diterima di sekolah tersebut. Selain itu, kecurangan-kecurangan tersebut, dalam prosesnya juga dibersamai dengan praktik gratifikasi, pemalsuan dokumen, serta pungli atau pungutan liar. Kecurangan-kecurangan tersebut malah membuat pemerintah terlihat tak siap dalam pelaksanaan sistem zonasi ini.
Tujuan dari diberlakukannya sistem zonasi sebenarnya menghilangkan stigma sekolah "favorit" dari masyarakat. Meskipun memang butuh proses dan stigma tersebut tak bisa hilang begitu saja, namun, menurut saya, pasti masih banyak terdapat siswa-siswi dan orangtua siswa yang terus mengejar sekolah favorit, demi kemudahan dalam "mengejar" universitas di masa mendatang. Mengingat, jalur masuk SNBP atau Seleksi Nasional Berbasis Prestasi, memerlukan indeks sekolah yang berupa rekam jejak kualitas sekolah dan alumni dalam proses penerimaannya. Meski tujuannya untuk meratakan kualitas pendidikan, kenyataannya masih banyak sekolah yang fasilitas dan kualitas pengajarannya jauh dari memadai, tak seperti sekolah-sekolah favorit.
Sekolah favorit biasanya cenderung "langganan" untuk masuk ke perguruan tinggi melalui jalur SNBP, karena selain indeks sekolahnya yang cukup tinggi, juga rekam jejak alumni yang banyak masuk di perguruan-perguruan tinggi di tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, stigma sekolah favorit akan terus ada selama SNBP masih terus menggunakan indeks sekolah. Indeks sekolah dapat dihitung dari pendaftaran dan penerimaan siswa asal suatu sekolah pada PTN terkait via jalur SNMPTN, SBMPTN, dan seleksi mandiri sebelumnya, serta prestasi siswa tersebut setelah berkuliah di sana.
Tetap saja, terdapat pihak yang "diuntungkan" dari sistem ini, yakni siswa yang rumahnya dekat dari sekolah negeri, terutama apabila jarak dari rumah ke sekolah kurang dari 1 kilometer. Meskipun kecurangan-kecurangan seperti yang telah disebutkan bisa saja terjadi, namun tetap saja, banyak juga kasus siswa yang rumahnya dekat sekolah, bisa masuk ke sekolah tersebut. Kembali lagi, karena sistem zonasi merupakan sistem dimana penerimaan berdasarkan siswa yang jarak rumahnya dekat dengan sekolah, memiliki rumah dekat sekolah merupakan privilege tersendiri.
Selain itu, keuntungan zonasi juga siswa dapat lebih efisien dengan waktu dan transportasi. Seharusnya, bila terdapat sistem zonasi, tak lagi ada siswa yang terlambat dengan alasan "rumah saya jauh", karena siswa yang diterima merupakan siswa zonasi yang rumahnya dekat dari sekolah. Dengan bersekolah di tempat yang lebih dekat, biaya dan waktu yang dihabiskan untuk perjalanan ke sekolah berkurang.
Solusinya, kembali pada pemerintah itu sendiri. Oknum-oknum yang memilih menempuh pendidikan dengan jalan "curang", tentunya dapat diminimalisir dengan pemerintah yang mengambil tindak tegas akan hal ini. Pemerintah tak mesti untuk menghapus total atau merombak dari awal sistem zonasi ini, namun, pemerintah tentunya membutuhkan monitoring dan evaluasi, agar semua dalam proses penerimaan dilakukan secara adil dan transparan.
Selain itu, apabila memang pemerintah ingin melakukan pemerataan akses pendidikan bagi siswa, pemerintah seharusnya melakukan pemerataan pembangunan sekolah terlebih dahulu, baru menetapkan sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), bukan sebaliknya. Pemerataan baru bisa disebut "rata", apabila hampir di semua daerah, terutama daerah padat penduduk, terdapat sekolah negeri yang memadai bagi para siswanya.
Bila sistem zonasi masih dilakukan seperti saat ini, dimana banyak siswa yang tidak memiliki sekolah negeri di sekitar rumahnya, kecurangan "pindah KK" akan terus menerus terjadi. Evaluasi besar-besaran harus dilakukan untuk PPDB selanjutnya, agar siswa dan siswi yang ingin masuk sekolah negeri di tahun 2025 mendapatkan keadilan dan transparansi dalam proses masuk mereka ke sekolah negeri. Pemerintah seharusnya dapat memastikan bahwa tujuannya tercapai dan untuk melakukan perbaikan jika diperlukan.
Sistem zonasi dalam PPDB adalah langkah besar yang diambil oleh pemerintah untuk menciptakan sistem penerimaan, guna untuk pemerataan akses pendidikan di Indonesia. Meski menghadapi berbagai pro dan kontra, namun, tujuan di balik kebijakan ini tidak boleh diabaikan. Dengan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, terutama siswa dan orangtua siswa, harapan untuk menciptakan pendidikan yang adil dan merata bagi semua anak Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Pada akhirnya, kesuksesan sistem zonasi akan sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan berkelanjutan, serta dukungan penuh dari segala pihak.