Lihat ke Halaman Asli

Malik Abdul Aziz

Penulis Komunal

Noktah Merah Perpajakan

Diperbarui: 13 Maret 2023   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh: Malik Abdul Aziz, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Noktah Merah Perkawinan, film yang menceritakan kondisi rumah tangga rapuh antara Ambar dan Gilang ini berhasil menghipnotis jutaan penonton di layanan streaming. Setelah 11 tahun menikah, komunikasi antara keduanya kian surut. Gilang yang terkesan menghindar dan diam terhadap Ambar, sementara Ambar mencoba menyelesaikan semuanya sendiri. Namun hal itu justru membawa bumerang bagi rumah tangga mereka. Meski hanya fiksi, nyatanya kondisi seperti ini pun terjadi antara karyawan dan pemberi kerja dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Film Noktah Merah Perkawinan diadaptasi dari judul sinetron populer pada era 1996 silam yang dibintangi oleh Ayu Azhari sebagai Ambar dan Cok Simbara sebagai Priambodo. Dalam aransemen terbarunya, sinema ini menggandeng Marsha Timothy sebagai Ambar, Oka Antara sebagai Gilang, dan Sheila Dara sebagai orang ketiga bernama Yuli.

Memaut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), noktah diartikan sebagai titik kecil atau bintik yang biasanya berwarna hitam atau warna gelap. Jika dikaitkan dengan perkawinan, noktah dapat berarti titik kecil yang menodai perkawinan. Sedangkan jika dikaitkan dengan perpajakan, noktah dapat ditafsirkan sebagai bintik yang dapat menghalangi pemenuhan kewajiban perpajakan. Pemberi kerja dan Karyawan memiliki peran yang sama pentingnya dalam menjaga keharmonisan pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya pembuatan bukti potong.

Becermin dari tahun-tahun sebelumnya, banyak wajib pajak orang pribadi karyawan yang belum menerima bukti potong pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bahkan hingga menjelang akhir periode pelaporan SPT Tahunan.

PPh Pasal 21 adalah pajak yang harus dipotong oleh pemberi kerja yang memberikan penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada karyawan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.

Jika penerima penghasilan adalah orang pribadi subjek pajak dalam negeri maka PPh yang wajib dipotong di sebut PPh Pasal 21, sedangkan jika penerima penghasilan adalah orang pribadi subjek pajak luar negeri, pajak yang dipotong di sebut PPh Pasal 26.

Berdasarkan status karyawan, bukti potong PPh Pasal 21 terbagi menjadi dua. Pemberi kerja menerbitkan bukti potong 1721 A1 untuk karyawan swasta dan 1721 A2 untuk karyawan negeri atau aparatur sipil negara (ASN).  

Bukti potong menjadi dokumen wajib dalam pelaporan pajak. Apabila wajib pajak karyawan tidak menerima bukti potong, maka ia tidak bisa melaporkan SPT Tahunannya. Sedangkan bagi pemberi kerja yang tidak menerbitkan bukti potong PPh 21 maupun jenis pajak penghasilan lainnya, maka ia tidak bisa melakukan pengkreditan saat menghitung pajaknya dalam pelaporan SPT Tahunan Badan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan, pemberi kerja memiliki kewajiban untuk memberikan bukti potong pajak kepada karyawannya. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 23 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.

Dalam beleid tersebut, pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima karyawan paling lama 1 bulan setelah tahun kalender berakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline