Lihat ke Halaman Asli

Malika Ananda

Mahasiswa/Universitas Airlangga

Opini: Praduga Pemberlakuan Upah Minimum, Baik atau Buruk?

Diperbarui: 5 Juni 2022   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

  • HISTORI

Pemberlakuan Upah Minimum Regional (UMR) DI Indonesia sudah berlaku sejak 1969 setelah dibentuknya Dewan Pengupahan Nasional dan Daerah. Upah Minimum dikenal pertama kali dengan sebutan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dengan petimbangan pangan, konsumsi dan syarat-syarat kesehatan. Setelah tahun 1996, nama FKM berganti menjadi Kehidupan Hidup Minimum (KHM) dengan tambahan beberapa komponen meliputi sandang, perumahan, fasilitas dan kebutuhan lainnya, baru pada tahun 2000 terjadi pengelompokkan Upah Minimum  menjadi UMK (Kabupaten), UMP (Provinsi) dan UMR (Regional).

  • ANALISIS DAMPAK

Melalui sejarahnya, kita bisa mengetahui banyak komponen dari Upah Minimum yang berganti menyesuaikan kondisi tahun berlaku. Kebijakan ini melibatkan komponen-komponen jangka pendek maupun Panjang sehingga masih terdapat resiko yang kemungkinan besar akan terjadi. Hal ini akan dijelaskan melalui model sederhana sebagai berikut.

Dalam kurva dijelaskan, sisi penawaran kerja berasal dari perusahaan dan permintaan dari tenaga kerja. Jika situasi keseimbangan berada pada titik E1, dan Upah Minimum diberlakukan diatas Keseimbangan (w1) maka akan timbul suatu kelebihan permintaan (exxes demand) di sisi tenaga kerja dan penyediaan lowongan pekerjaan yang semakin sedikit.

Sistematika ekonomi tersebut menimbulkan problematika mengenai kebijakan Upah Minimum yang berlaku, akankah hal tersebut memberikan kesejahteraan bagi masyarakat? atau sebaliknya? Upah Minimum akan meningkatkan kesejahteraan buruh dalam jangka pendek sebagai awal dari pemenuhan kebutuhan pokok. Namun karena semakin berbobotnya inflasi pertahun, kebutuhan pokok pun bertambah dan upah minimum mengikuti kenaikan tersebut. Perusahaan akan meminimalisir pengeluaran termasuk gaji dan lowongan kepada karyawan. Jika upah terus menerus naik, maka perusahaan akan memberlakukan standarisasi lowongan yang selektif dan kuota akan semakin sedikit. Akibatnya dalam jangka Panjang, pengangguran meningkat diikuti dengan penambahan jumlah kemiskinan. Oleh karena itu, beberapa ekonom mengatakan bahwa kebijakan Upah Minimum mempunyai peluang besar untuk menurunkan kesejahteraan masyarakat.


Disisi lain, pemberlakuan Upah Minimum sangat dibutuhkan untuk memenuhi biaya hidup yang semakin tinggi. Jika masih mengandalkan individu perusahaan, dikhawatirkan akan maraknya eksploitasi pekerja seperti pada tahun-tahun sebelum 1980-an. Selain itu, untuk meningkatkan etos dan semangat kerja yang tinggi, dibutuhkan “penarik” agar kerja semakin maksimal. Kesimpulannya, kebijakan upah minimum merupakan cara pemerintah untuk menanggulangi eksploitasi kerja “tanpa gaji” yang masih sering terjadi, walaupun memiliki dampak negatif, namun hal tersebut masih dapat diminimalisir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline