[caption id="attachment_257644" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Remang waktu di tatapan lurus jalanan kesultanan, di mana orangorang terkesima dengan liukan indah nan kesepian duaorang lelaki malam atau angkringan yang menawarkan secawan kisah sederhana, kisah para wong cilik. duatiga perempuan menelusur harapan. Lalu lintas tak lagi menyusahkan denyut nafas. Aku mencari dan terhenti pada panggung wayang. Yang di panggung seperti berkata pada semayup suara merdu para sinden: "Inilah negeri kita, penikmatku di panggung selalu para wong tuek, aki-aki, atau bahkan wong cilik. Tapi hei lihatlah, tigagadis di sudut sana. Mereka dalam rasa kantuk yang luar biasa, memeluk kebekuan dini hari, berpagut tatapan nanar. Tapi apakah mereka paham apa yang terkisahkan dari seorang dalang yang memainkanku? Oh, aku sepertinya telah lelah. Kapan aku berakhir? Kisah ini terlalu panjang." Tigagadis pulang. Panggung parawayang belum lagi usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H