Lihat ke Halaman Asli

It’s Time to... Minta Maaf dan Memaafkan (part 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalammualaikum Wr. Wb.,

Masih diliputi rasa hangat ber-Lebaran, tidak ada salahnya saya ingin berbagi sedikit hal spesial dari Lebaran. Bukan mengenai makanannya, meskipun banyak dari panganan di Hari Raya membuat liur menetes. Bukan pula mengenai perbedaan penentuan kapan jatuh Lebarannya, yang tentunya mengundang banyak diskusi-diskusi seru. Kali ini, saya ingin berbagi tulisan mengenai *jeng jeng jeng backsoundnya* maaf.

“Eh apa?”

“Iya, maaf.”

“Eh? Gapapa, gak perlu minta maaf.”

“???”

Iya, pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit berbagi tentang MAAF. Hari Raya Idul Fitri juga sering diidentikan dengan momen untuk saling bermaaf-an. Minta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan kepada orang lain, juga memaafkan kesalahan orang lain yang pernah menimpa diri ini. Ada pertanyaan yang mengusik diri saya, saat Lebaran ini, adalah “sudah tulus-kah saya meminta maaf, dan sudah ikhlas-kah saya memaafkan?”

Momen bermaaf-an di Hari Raya Idul Fitri telah mendarah-daging. Akan tetapi, seringkali makna sesungguhnya hilang karena hanya dianggap sebagai kebiasaan belaka. Saya ingat beberapa tahun silam, ketika baru memiliki handphone sendiri. Setiap tiba Hari Raya, saya pasti sudah menyiapkan cukup pulsa untuk mengirimkan ucapan selamat dan permohonan maaf via sms kepada seluruh kontak yang ada di hp saya tersebut. Saat itu, niatnya cuma satu, mendapat ucapan yang sama sebanyak-banyaknya. Setelah itu, saya dan teman-teman saling membandingkan siapa yang mendapat sms paling banyak. Kalau diingat-ingat, saya jadi malu sendiri, hehehe :”)

Ada juga salah seorang kawan, yang selalu sibuk memikirkan seperti apa ucapan selamat dan permohonan maaf yang unik. Lain lagi dengan seorang kawan, ia selalu bingung ketika mendapat ucapan selamat dan permohonan maaf dari kawan yang tidak akrab. Dia bilang seperti ini,”Buat apa minta maaf, kayaknya dia gak pernah bikin salah apa-apa ke gue?” Ada juga yang baru mau minta maaf ketika orang lain sudah minta maaf terlebih dahulu. Memang macam-macam tingkah laku lucu (bin ajaib) saat momen bermaaf-an, dan saya juga termasuk bagian di dalamnya, mungkin Anda juga.

Minta Maaf

Salah seorang teman yang pernah membaca draft tulisan ini sempat bertanya kepada saya,”Kenapa sih yang diomongin minta maaf dulu? Kenapa gak memaafkan dulu?” Jawaban saya waktu itu sih seperti ini,”Untuk dapat memaafkan orang lain, kadang harus ada permintaan maaf dari orang yang bersangkutan. Sebelum berharap orang tersebut minta maaf terlebih dahulu, mengapa bukan kita saja yang minta maaf duluan?”

Ya, minta maaf memang butuh pengorbanan ego yang besar. Minta maaf itu super berat, super susah. Apalagi buat saya yang tipe orang keras kepala dan mau menang sendiri. Saya susah banget minta maaf, tapi anehnya maunya tiap kali ada orang berbuat salah, mereka harus minta maaf ke saya. Manusiawi memang, tetapi akan lebih manusiawi lagi apabila saya (dan mungkin orang-orang seperti saya) berusaha untuk memperbaiki diri.

Kata orang, tak kenal maka tak sayang, jadi sebelum berpanjang lebar berbicara tentang minta maaf, kita kembali ke pertanyaan dasar,”Apa sih maaf?” Menurut KBBI, ada tiga arti dari kata maaf, yaitu (1) pembebasan seseorang dr hukuman (tuntutan, denda, dsb) krn suatu kesalahan, (2) ungkapan permintaan ampun atau penyesalan, dan (3) ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu. Dalam Al-Quran, terdapat beberapa kata yang makna-nya digunakan untuk mengartikan kata maaf. Istilah yang pertama adalah Al-Afuw yang berarti ampunan, yang juga merupakan arti dari istilah kedua yaitu Al-Shafh. Kata maaf memang lebih condong diartikan sebagai ampunan, seperti poin (2) dari arti KBBI di atas.

Sebelumnya sudah disebutkan, minta maaf itu tidak semudah membalikan telapak tangan, tidak juga selebar daun kelor (loh? Gak nyambung -_-“). Manusia memang dilahirkan dengan memiliki ego. Di sisi lain, manusia juga dilahirkan dengan kekurangan yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Dari hubungan sosial tersebutlah sering terjadi konflik. Loh, kenapa begitu? Meskipun saling membutuhkan, tapi manusia memiliki kemauan, pandangan, dan pemikirannya yang berbeda. Hal-hal yang berbeda tersebut jika terlalu didukung oleh si ego, bisa menyebabkan ego yang lain merasa terancam. Dan jika sesama ego sudah saling berhadapan, ya terjadilah konflik. Jika tidak mau terjadi konflik, harus ada ego yang dikorbankan. Silogisme seperti ini, maaf sebagai salah satu cara meredam konflik. Untuk meredam konflik, harus ada ego yang dikorbankan. Jadi, untuk bermaaf-an, harus ada ego yang dikorbankan.

Memang tidak gampang, tapi juga tidak susah. Untuk hal seperti ini, Ibu saya jagoannya. Prinsip yang selalu beliau tanamkan kepada saya adalah jika kita berbuat suatu hal yang buruk kepada orang lain, bayangkan hal tersebut terjadi pada diri kita. Misalkan kita berbuat salah kepada orang lain, dan kita merasa benar dan tidak mau minta maaf, coba bayangkan hal tersebut terjadi pada diri kita.

Kadang, kita memang benar, tapi cara menunjukannya salah dan jadi menyakiti orang lain. Terus bagaimana? Ya harus tetap minta maaf. Loh kok gitu? Kadang, jika terjadi konflik, entah kita yang salah atau tidak, yang diinginkan oleh pihak tersakiti adalah permohonan maaf. Dengan adanya permohonan maaf, si ego akan diam dan diskusi untuk menyelesaikan masalah dapat dilakukan.

Minta maaf bukanlah hal yang buruk. Meskipun gengsi, tetapi berinisiatif menyelesaikan masalah dengan meminta maaf terlebih dahulu patut diacungi jempol. Tapi ingat, minta maaf-lah dengan tulus and you mean it. Gary Chapman dan Jennifer Thomas dalam buku Five Languages of Apology mengemukakan lima hal dasar dari meminta maaf.

êExpressing Regret

Menurut Gary, inilah tahap pertama dari meminta maaf secara tulus, mengungkapkan penyesalan. Ucapan seperti “Yaudah, maaf deh” tidak termasuk dalam ungkapan penyesalan. Mengungkapkan penyesalan tidak selalu secara verbal, tetapi dapat dilihat juga dari body language seseorang. Dalam bukunya, Gary menyebutkan body language yang menunjukkan ketulusan dalam meminta maaf, yaitu menatap mata lawan bicara dan menyentuh secara lembut, seperti menggenggam tangan atau tepukan ringan kepada lawan bicara.

êAccepting Responsibility

Saat kita melakukan kesalahan, menurut Gary, sebelum kita meminta maaf, akuilah bahwa diri kita memang salah. Memang sulit, tetapi dengan mengakui bahwa kita salah lebih menunjukkan ketulusan kita dalam meminta maaf.

êMaking Restitutions

Bagi beberapa orang, permohonan maaf yang diucapkan saja tidaklah cukup. Untuk itu, tunjukkan juga keinginan kita untuk minta maaf dengan memberikan sesuatu kepada pihak yang tersakiti. Menurut Gary, ada sedikitnya lima hal yang menunjukan penebusan kita, yaitu Words of Affirmation, Quality Time, Acts of Service, Physical Touch, dan Receiving Gifts.

êGenuinely Repenting

Tak jarang, kita meminta maaf atas kesalahan kita, tetapi di kemudian hari kita mengulanginya kembali. Padahal untuk menunjukkan ketulusan kita dalam meminta maaf, tidak cukup hanya saat itu. Perlu perubahan jangka panjang. Satu hal yang diharapkan dari pihak yang tersakiti adalah tidak diulangi lagi perbuatan tersebut.

êRequesting Forgiveness

Terakhir, selain mendengar ucapan maaf dan pengakuan kesalahan, pihak yang tersakiti juga ingin mendengar permohan dimaafkan. Akan tetapi, jangan minta dimaafkan dengan memaksa. Memaafkan adalah pilihan pihak yang disakiti.

Lagi-lagi, meminta maaf bukan perkara mudah. Akan tetapi, jika kita berhasil menekan ego dan berusaha meminta maaf secara tulus (mungkin mengikuti cara-cara Gary Chapman atau dengan cara masing-masing), itu merupakan pencapaian yang luar biasa bagi diri kita.

Berhasil meminta maaf secara tulus bukanlah tujuan akhir, masih ada satu lagi. Memaafkan. Yuk mari dibaca yang part 2-nyaaa :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline