Belajar memahami murid dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa mendidik murid adalah menuntun mereka sesuai kodrat yang dimilikinya, baik kodrat sebagai manusia individu, sesuai kodrat alam di mana mereka berkehidupan dan tentu saja sesuai dengan zamannya.
Ada hal yang menarik dari memahami pendidikan yang sesuai dengan filosofi KHD ini adalah setiap guru hanyalah menuntun dan mengarahkan pada kompetensi terbaiknya demi meraih kebaikan setinggi-tingginya dengan budi pekerti yang mulia. Mengembangkan kemampuan cipta, karsa dan karya dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk.
Dengan memegang prinsip ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani yakni di depan seorang pendidik harus menjadi teladan bagi murid-muridnya, di tengah memberikan motivasi atau semangat secara penuh terhadap proses pembelajaran mereka dan yang juga tidak kalah pentingnya adala mendorong murid untuk terus mengasah potensi kognisi, afektif dan psikomotornya agar menjad pribadii yang seutuhnya.
Setelah memahami bagaimana filosofi pendidikan menurut KHD, ternyata pemahaman filosofi KHD ini sejalan pula bagaimana guru mengemban nilai-nilai dan peran yang dimilikinya. Di mana pendidik itu memiliki nilai berpusat pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif dan inovatif yang semua itu akan bersinggungan dengan bagaimana perannya sebagai pendidik, yaitu: menjadi pemimpin pembelajaran, penggerak kolaboratif guru, menjadi coach bagi guru lain, penggerak komunitas praktisi dan mewujudkan kepemimpinan pada murid.
Guru sejatinya memiliki tanggung jawab yang berat, dan tentu saja amat penting bagi penumbuh generasi terbaik dari murid-muridnya. Menerapkan nilai-nilai yang dimiliki dan terus memaksimalkan perannya dalam pendidikan, tentu saja dampaknya akan tercipta ekosistem sekolah yang positif. Ekosistem sekolah yang tidak akan bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Namun butuh kolaborasi, kerjasama saling mendukung, agar budaya positif benar-benar menjadi aktivitas yang selaras dengan kehidupan sehari-hari. Menempatkan guru sebagai manajer yang mampu menerapkan segitiga restitusi demi terwujudnya generasi yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan bertanggung jawab.
Bagaimana guru harus memiliki visi masa depan pada murid dan sekolahnya, karena dari sana guru melakukan langkah-langkah konstruktif dengan semangat kolaboratif menjadikan sekolah sebagai tempat mendidik dan merawat nilai-nilai sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Perwujudan visi guru penggerak ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dan bantuan semua pihak dengan semangat inkuiri partisipatif di mana semua orang saling bahu-membahu mewujudkan visi sekolah yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan dan potensi murid dan tentu saja sesuai dengan alam dan zamannya saat ini, di mana dunia butuh anak-anak yang cerdas secara pikiran, gagasan, kreatif dalam semua kondisi yang ada, dan mencintai manusia lainnya serta alam semesta dengan kemampuan memahami literasi secara berkelanjutan.
Penumbuhan dan penerapan budaya positif di sekolah pun merupakan hal yang begitu penting bagi generasi-generasi masa depan. Anak-anak murid kita yang butuh adanya sentuhan pemahaman akan nilai-nilai kebajikan universal yang juga termaktub di dalam profil pelajar Pancasila. Yang mana untuk menciptakan generasi yang positif tentu tidak bisa seketika dan berjalan secara independen, akan tetapi dependen atau mengikutsertakan semua warga sekolah, komite sekolah, dan tentu saja wali murid yang paling banyak bersentuhan dengan murid-murid.
Begitu pula seorang guru yang memiliki nilai-nilai dan perannya dalam pendidikan, semestinya menciptakan pembelajaran yang mampu menerima segala macam perbedaan peserta didik, baik kesiapan belajar, minat belajar dan profil belajar yang beragam. Murid-murid mendapatkan kesempatan belajar yang sama sesuai dengan ketiga aspek di atas, dalam sebuah pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berdiferensiasi akan menjadi wadah terwujudnya generasi yang bertumbuh sesuai dengan potensi yang dimiliki, hingga pada akhirnya terciptalah insan-insan yang well being, sejah tera lahir dan jiwanya. Manusia yang akan mampu menerapkan keterampilan sosial dan emosional dalam kehiduannya. Mereka mampu mengenali diri sendiri, memanajemen diri sendiri, mengenal orang lain, memiliki empati pada sesama, dan mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab.
Murid-murid mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan penuh tanggung jawab, dengan dukungan coaching dari guru dan menerapkan segitiga restitusi hingga anak-anak mampu mengelola masalahnya sendiri secara bijak.
Menjadikan kepemimpinan di sekolah sebagai institusi moral dapat tercapai dengan kemampuan pengambilan keputusan dengan tepat dan mampu memilih mana masalah yang bersentuhan dengan dilema etika atau bujukan moral.
Ketika memahami perbedaan kedua masalah tersebut, seorang pemimpin mampu menerapkan 9 langkah dalam pengambilan keputusan, menggunakan 4 paradigma berpikir, menentukan apakah ini berkaitan tentang individu atau kelompok (masyarakat), rasa keadilan maupun rasa kasih sayang, kebenaran melawan kesetiaan, atau sebaliknya untuk jangka pendek atau jangka panjang. Itu adalah pilihan dari pengambil keputusan yang tentu saja mampu memilih prinsip dilema etika yaitu berpikir prinsip hasil akhir, peraturan atau karena rasa peduli pada sesama.