Berawal empat belas tahun yang lalu kami menjalani hari-hari sebagai pendidik. Dari guru di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di sebuah desa di Lampung Timur dengan guru-guru lain yang mau mengabdikan waktu, tenaga, pikiran dan ilmunya demi ikut serta mencerdaskan anak-anak desa.
Dari sanalah sejarah pengabdian itu dimulai. Mengukir segala asa atau cita-cita yang ingin mensukseskan pendidikan anak-anak agar mereka mendapatkan bekal bagi kehidupan mereka.
Segenap siswa-siswi yang begitu polos dan lugu yang terus mau mendengarkan petuah dan ajaran dari gurunya. Meskipun mereka pun tidak mengerti, betapa penghasilan guru-guru kala itu tak cukup untuk makan sehari.
Yap, dengan gaji 50 ribu tentu adalah sebuah salary atau upah yang tidak sesuai jika dinilai dari ilmu pengetahuan yang diajarkan pada murid-muridnya. Bahkan pendidikan akhlak yang bakal tertanam di sanubari anak-anak polos tersebut, tidak akan dapat tergantikan oleh apapun.
Keringat yang dikeluarkan ketika mengayuh sepeda menuju sekolah dan ketika berbicara di depan mereka, bukanlah hal yang remeh temeh. Semua memberikan kesan yang mendalam, betapa menjadi seorang pendidik adalah butuh kesiapan yang sesungguhnya, bukan pura-pura dan bukan karena terpaksa. Karena jika terpaksa, maka lebih baik menjadi kuli yang sehari saja kala itu digaji 20 ribu.
Menjadi guru pemula sekaligus rintisan bukanlah hal yang mudah dilalui dan dijalani. Semuanya butuh kesabaran dan keikhlasan demi membagi pengetahuan yang dimiliki. Meskipun harapan untuk tetap menjadi guru di sana harus kandas karena perbedaan pendapat terkait hak-hak keterbukaan bagi semua guru.
Ada hal yang ternyata tetap disimpan rapat-rapat oleh pemilik yayasan yang kami sebagai guru tidak boleh cawe-cawe atau ikut campur urusan dapur.
Secara pribadi menghargai sikap protektif dari yayasan karena itu kewenangan mereka, dan kami hanyalah bagian dari pengajar yang harus siap mendapatkan gaji sesuai dengan yang mampu diberikan.
Berselang beberapa bulan dari sana, memulai mengajar di sekolah dasar di desa yang berbeda. Menjadi seorang TU yang merangkap guru Mulok dan menggantikan guru kelas, saya jalani dengan ikhlas. Meskipun saya menyadari menghadapi siswa-siswi pintar-pintar dan sering juara dalam perlombaan menjadi tantangan tersendiri.
Bukan tanpa sebab kenapa saya harus siap menghadapi semuanya. Ya, karena dapur harus tetap mengepul dan pendidikan yang ditempuh bertahun-tahun jangan sampai mengendap dan sia-sia. Apa yang didapatkan selama pendidikan pun harus saya bagikan pada anak-anak lain yang membutuhkan. Meskipun dengan penghasilan yang jauh dari gaji UMR jaman itu, 150 ribu harus saya terima dengan konsekuensi saya harus mencari uang tambahan di siang hari pasca pulang mengajar.