Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Cerpen: Hati yang Terbelah

Diperbarui: 7 Agustus 2020   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tribunnews.com

Orang-orang memanggilku Adi, meskipun ayahku memberi nama lengkap sebagai Adi Sugiharto. Yang menurut ayahku harapannya aku bisa menjadi orang yang benar-benar kaya. Memiliki tanah yang luas dan kehidupan yang mapan.

Aku tengah berada di sebuah persimpangan. Antara ingin mengikuti apa kata ayahku atau kata hatiku sendiri. Hari-hari kulalui dengan gelisah. Hingga tak ada waktu lagi untuk menikmati hidup lantaran hampir setiap hari ayahku selalu mengungkit sekolahku. Meskipun aku sadar bahwa aku memang terlahir dari kalangan bawah.

Rumahku di desa, dengan kondisi masyarakat yang apa adanya. Sebagai pekerja pabrik tapioka, rasa-rasanya tak mungkin pula aku bisa menyelesaikan pendidikanku. Meskipun demikian, ternyata jerih payah orang tua membuahkan hasil, beliau bisa membiayai sekolahku hingga sarjana. Sebuah pencapaian yang sulit dari seorang putra buruh dengan gaji kecil.

"Kamu jangan sekali-kali menikah sebelum bekerja mapan!" Ayahku membuka percakapan pagi itu. Kami berdua tengah menikmati suasana pagi yang sejuk dengan hembusan angin sepoi-sepoi laksana di bibir pantai. Cahaya mentari yang mulai bangun dari tidur malamnya seperti memberi tanda bahwa kami semua harus menatap hari ini dengan amat bangganya.

Aku bingung harus berkata apa, antara iya dan tidak. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri dan rasa cinta yang kini aku pendam. Bahwa aku hendak meminang wanita jelita tetangga desaku. Yuly, adalah wanita pujaanku semenjak SMA. Wajahnya teduh dengan balutan jilbab dan pakaian yang anggun, membuat aku terpesona. Rasa-rasanya ingin kunikahi segera.

"Iya,Yah." Jawabku agak gugup.

"Kamu kan tahu, untuk kuliahmu ayah menghabiskan uang yang tidak sedikit. Tanah kita pun sudah ikut terjual demi menyelesaikan pendidikanmu. Sedangkan orang lain tidak ada yang mau menyekolahkan anaknya. Tapi Ayah ingin kamu sukses hingga sarjana. Ayah ingin melihatmu menjadi orang yang membanggakan." Kembali ayah membicarakan kisah pedih usahanya dalam menguliahkanku. Kadang aku ingin membalas semua yang diberikannya. Uang yang telah dikeluarkan dan sebidang tanah yang tergadai ingin segera aku bayar.

"Ayah pernah melihat kamu ngobrol sama perempuan, siapa gadis itu?" Tiba-tiba pertanyaannya mengagetkanku. Aku kira ini di luar dugaan. Sosok yang aku rahasiakan tiba-tiba memancing perhatiannya. "Bukan siapa-siapa, Yah."  Kataku sembari menyeduh kopi yang tinggal separuh.

Aku merasa kikuk dan takut, jika ternyata suatu saat nanti hubunganku ini diketahuinya. Entah apa yang terjadi nanti.

"Aku kebetulan kenal waktu SMA, memang anaknya baik dan sholehah. Kata-katanya yang sopan dan penampilan yang ramah, pantas menjadi contoh gadis-gadis di sini." Jawabku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline