Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Mencegah Terorisme dari Dalam Rumah

Diperbarui: 15 Mei 2018   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Nasional Kompas

Sungguh miris ketika melihat kejadian teror bom di gereja yang merenggut belasan nyawa di Surabaya.  

Surabaya, menurut pemahaman saya adalah kota yang sangat menjunjung toleransi. Tidak hanya Surabaya, di daerah lain pun di seluruh Indonesia hakekatnya merupakan masyarakat yang sungguh toleran. 

Hal tersebut saya pahami ketika saya berkunjung ke kota tersebut, nampaklah masyarakat berbagai etnis bisa bersatu, tumpah ruah membangun kehidupannya masing-masing tanpa melihat latar belakang mereka.

Tentu dengan kondisi yang semula damai, tiba-tiba menjadi mencekam karena teror, sungguh merupakan kondisi yang benar-benar di luar nalar. Apalagi Surabaya adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Timur yang kebanyakan etnisnya adalah etnis Jawa yang sungguh memegang prinsip menjaga kebersamaan dalam gotong royong. 

Tidak ada rumus yang dipercaya mengapa kejadian teror begitu saja terjadi di Kota yang begitu rukunnya.

Tidak hanya di Surabaya, di daerah manapun di mana suku Jawa menyebar dan bermukim, selalu mengedepankan semangat toleransi dan gotong royong dalam membangun masyarakatnya. 

Bagaimana masyarakat Jawa selalu menggunakan istilah gugur gunung ketika ingin mengadakan bakti sosial seperti  menjaga kebersihan lingkungan, membangun rumah penduduk, sarana umum dan tempat ibadah. 

Begitu pula bagi suku lain, tentu memiliki prinsip yang sama seperti Sakai Sambayan yang begitu dijunjung oleh masyarakat Lampung dalam membangun masarakatnya. Membangun sinergitas masyarakat dalam menjaga lingkungannya.

Jika masyarakat Indonesia yang begitu akrab dengan istilah gotong royong, toleransi, teposeliro ternyata akhir-akhir ini seperti mengalami perubahan pola berpikir. 

Masyarakat yang semakin berpihak pada prinsip individualisme dan primordialisme, mau tidak mau semakin meregangkan skat-skat perbedaan yang ada. Semakin lama terjadi benturan dan gesekan yang seperti terjadi begitu saja, dampaknya masyarakat yang begitu agamis yang begitu menjujung perintah agamanya secara benar dan moderat, pada akhirnya muncul sikap -sikap yang justru mencoreng khasanah budaya keindonesaan dan keagamaan itu sendiri. 

Semangat menegakkan nilai-nilai Pancasila pun secara perlahan mengalami degradasi. Begitu banyak keluarga yang cuek dengan keluarga yang lain meskipun tetangga sendiri, dan etnis tertenu begitu bangganya dengan etnis yang diilikinya. Semua itu menjadi polarisasi yang lambat laun justru merusak tatanan masyarakat yang damai tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline