Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Belajar dari Makna "Wong Alok Mesti Melok"

Diperbarui: 27 April 2018   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : kelascinta.com

Dalam falsafah Jawa saya banyak menemukan sebuah kalimat yang cenderung memiliki makna yang dalam, meskipun dalam banyak hal setiap adat dan budaya dari suatu suku ternyata memiliki keunikan tersendiri. Falsafah hidup tersebut akan memberikan efek positif apabila dipahami sebagai ajaran kebaikan. Seperti halnya ajaran "anggah-ungguh" atau sopan santun, di mana yang muda mesti menghormati yang lebih tua, dan banyak hal lain yang jika ditelusuri akan banyak ditemukan. Begitu pula kata "ojo dumeh" yang menghendaki seseorang untuk tidak merasa memiliki kelebihan meskipun memang memilikinya demi menghargai orang yang penuh kekurangan.

Meskipun sedikit demi sedikit tradisi dan budaya yang diwariskan semakin memudar karena kemajuan jaman, ternyata ketika saya berusaha merenungkannya akan menemukan hal-hal tersebut, ternyataa memang memiliki suatu kebaikan. 

Boleh dibilang petuah atau pengeleng-eleng dan atau pengingat kepada keturunannya bahwa hakekatnya kalimat itu memiliki aura magis yang kadang justru tidak sengaja benar-benar terjadi. 

Seperti halnya kata "ora ilok mangan ngarep lawang" yang maksudnya tidak baik karena bisa mengganggu orang yang berlalu lalang karena menikmati hidangan di depan pintu.  Pun karena akan berakibat hidangan akan tertumpah jika tersenggol orang yang lewat. Atau kalau lebih dalam lagi adalah nilai kesopanan dan laku yang tidak baik jika dilakukan. 

Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang sarat makna.  

Namun dalam tulisan ini saya menukil sebuah kalimat yang berbahasa Jawa "wong alok mesti melok" artinya orang yang mengumpat,  mengolok-olok pasti suatu saat akan melakukan apa yang diolokkan.  

Atau dengan kata lain seseorang yang suka melecehkan niscaya akan sama nasibnya seperti orang yang telah dilecehkan. 

Apa maksudnya? 

Sebagai masyarakat yang dialiri darah Jawa,  tentu sedikit banyak telah belajar bahasa-bahasa yang terlontar dari para sesepuh.  Orang tua,  kakek atau buyut seringkali memberikan pesan moral agar keturunannya menjauhi kata-kata yang menyakitkan.  Boleh jadi karena memang ajaran kebaikan selalu menuntun manusia menjadi sosok yang baik budinya.  

Tidak banyak melecehkan karena bisa jadi mengalami hal yang sama.  Ibarat cermin ketika ingin menunjuk wajah sendiri cukuplah melihat cermin.  Semua akan terpantul kepada sosok yang telah bercermin tadi. Jika memang keadannya kurang baik, tentu kurang baiklah yang terlihat. Seandainya ingin memperbaiki yang kurang baik tersebut, maka dengan bercermin pula semua bisa dilakukan.

Apakah orang lain bisa memperbaikinya? Tentu saja bisa. Namun orang lain memiliki sudut pandang berbeda dalam menilai diri kita. Bisa jadi karena ketidak mengertian atau unsur subjektif yang mempengaruhi pandangan seseorang. Sehingga tetap saja, introspeksi diri merupakan jalan yang terbaik sebelum menyalahkan orang lain. Menilai diri sendiri saja masih sulit, bagaimana bisa menilai orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline