Beberapa saat yang lalu saya mendapatkan sebuah postingan pemberitahuan dari Admin Kompasiana bahwa saya salah satu penulis (content author) yang berhak mendapatkan hadiah dari artikel yang sudah ditayangkan. Mak jleb, wajah saya berseri-seri, hati dag dig dug dan bahagia dan sepertinya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Alhamdulillah bisa kebeli quota agar aku bisa menulis lagi. Itu dalam bayanganku. Rasa syukur yang tak terhingga karena tulisan sederhana itu ada yang mau melihat-seandainya ada yang sengaja membuka- beruntung sekali karena ada orang yang baik yang mau membaca tulisan tersebut.
Meskipun bonus yang diberikan menurut orang lain terlampau kecil yang nggak nyampek 200 ribu, tapi menurut saya itu sesuatu yang luar biasa. Bukan persoalan nominal uang yang dikirim ke rekening, tapi betapa tulisan tersebut telah memberi kesan menarik untuk ditengok. Tidak terlalu berlebihan untuk disebut sebagai penulis karena tulisan tersebut murni untuk pembelajaran diri sendiri.
Pertama kali mem-publish berharap tulisan tersebut layak disebut tulisan, harapan kedua saya bisa mengambil pelajaran dari sana. Harapan selanjutnya semoga fikiran dan hati selalu bersinergi dengan tangan untuk menekan tombol-tombol keyboard agar fisik ini tidak benar-benar nganggur karena banyak waktu kosong. Daripada mikirin yang aneh-aneh mendingan menghibur diri dengan menulis.
Jika menulis melihat uang yang dibayarkan, entah nilainya ratusan ribu atau mungkin jutaan rupiah, rasa-rasanya mulai saat ini saya mesti membunuh mimpi saya untuk menorehkan semua ide dalam sebuah tulisan. Kenapa? Karena hidup bukan hanya persoalan uang (titik).
Jika menulis semata-mata karena uang (materi), boleh jadi para penulis buku yang karyanya best seller itu akan mogok menulis lantaran peminatnya menurun, atau mungkin sudah mulai bosan karena masih terlalu banyak penulis lain yang boleh jadi lebih berbobot dan titelnya S-15 misalnya. Boleh jadi para guru, dosen atau guru besar pernah menengok tulisan "remeh" tersebut. Dan tentu saja ada kesan yang muncul antara positif atau negatif. Semoga saja selalu bernilai positif dan saya tidak dimusuhi. hehe
Kadang menulis itu seperti bermain teka-teki, apakah tulisan tersebut suatu saat akan diminati atau justru sebaliknya banyak yang membenci dan melakukan perundungan, karena terkesan tidak ada gunanya. Sebab, tulisan-tulisan tersebut saya share kepada orang-orang yang notabene memiliki beragam pengetahuan yang boleh jadi pengetahuannya lebih tinggi dan mumpuni.
Belum lagi tulisan tersebut di-share di media sosial yang boleh jadi akan tetap ada meskipun boleh jadi esok saya sudah tidak ada lagi (pass away) selama internet dan pemilik rumah masih membiarkan tulisan itu bertengger di sana dia akan tetap ada. Mohon maaf tulisan-tulisan tersebut bukan bermaksud menggurui namun hanya sebatas berbagi.
Tak hanya berbagi, menulis adalah evaluasi dan refleksi diri
Seperti niat awal menulis karena hobi berbagi, ternyata realitanya menulis ternyata bisa menjadi ajang evaluasi dan refleksi diri. Karena menulis adalah evaluasi tentu karena ingin menilai kualitas diri sendiri, bukan orang lain. Apakah ada urgensinya? Saya kira ada, lantaran menulis itu sebenarnya karena ajang "berkaca" pada diri sendiri. Jika diri sudah baik maka selayaknya menulispun sesuatu yang baik, begitu sebaliknya. Atau karena menulis sesuatu yang baik, maka saya harus lebih baik. Sepertinya poin kedua lebih tepat menggambar bahwa menulis adalah mengevaluasi diri, bukan orang lain.
Selain sebuah evaluasi, ternyata menulis juga refleksi diri. Seperti halnya penulis lain, ada banyak pengalaman (hidup) atau fenomena yang ditemui dalam setiap detik perjalanan hidup menjadi ajang merefleksikan diri. Dengan menulis harapannya semakin memperbaki diri dan menutupi segenap kelemahan dan kesalahan dengan sesuatu yang lebih berguna.
Sebuah refleksi justru saya temukan dari pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Bolehlah saya contohkan jika penulis itu menceritakan perjalanan hidupnya yang dari masa sulit hingga sukses, ternyata menjadi pelajaran berharga-paling tidak sumber inspirasi-bahwa saya pun mesti bisa melakukannya. Sebuah proses kesadaran untuk mem-plagiat kesuksesan orang lain berdasarkan perjalanan hidup yang telah dijalani. Kadang saya begitu terpesona dan kagum dengan kesuksesan orang lain tanpa melihat ke belakang, mengapa mereka bisa sukses. Oh, ternyata begitu panjang jalan yang dilalui demi meraih sebuah kesuksesan itu. Wajar donk mereka bisa sukses.