Halo, apa kabar admin Kompasiana, dan kompasianer sejagat semua. Semoga kabar kalian baik-baik saja ya? Aamiin
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa hingga detik ini sebisa dan semampu mungkin saya masih menyempatkan diri menitipkan tulisan-tulisam saya di blog bersama ini. Dan alhamdulillah saya pun merasakan banyak manfaat di dalamnya.
Terus terang, saya bersyukur bisa menjadi bagian etalase warga, bisa menjadi bagian orang-orang yang mengkaryakan dirinya dengam tinta-tinta emas. Dan ternyata sampai sejauh ini tidak terasa umur sudah semakin tua. #eh
Harapannya dengan bertambahnya usia, membuat saya semakin terbuka dan bebas merdeka dalam menyuarakan bait-bait kata dan simphony nada dari relung jiwa yang terdalam. Bukan ingin merasa pandai atau mengerti, tapi ingin memberi yang bisa diberi. Bukan harta yang aku punya, tapi goresan tinta sederhana yang boleh jadi kurang bermakna, menjadi hadiah terindah yang bisa aku persembahkan.
Mungkin, inilah cara terbaik seorang putra desa ini bergaul bersama warga bangsa dari berbagai penjuru nusantara. Meski hanya sekali bisa ketemu dengan kompasianer lain, ternyata bisa memberi warna tersendiri.
Seperti kata ayahku dan almarhumah ibuku, jadilah orang yang bermanfaat maka dirimu akan berarti, mengalah bukan untuk kalah tapi sebuah kemenangan yang terbaik. Sukurilah yang kau punya maka hidupmu akan berbahagia.
Dengan energi yang lahir dari pesan-pesan kebaikan itu, maka hingga detik ini tetap kutorehkan kata-kata. Meskipun kelasnya ndeso, tapi saya bangga bisa menjadi bagian perubahan dalam setiap masa.
Menulis sebanyak 965 karya, pembuktian bahwa saya adalah kompasianer (semoga)
Pernah suatu masa saya vacum, stagnant dan tidak menulis di kompasiana. Saya berusaha merenungi diri dan membuka lahan sendiri di blog pribadi. Itu semua saya lakukan karena aura merah sudah mulai menyeruak di blog bersama ini. Tak lain dan tak bukan, karena para penulis di dalamnya adalah para aktivis politik yang selalu berusaha menjadi pemenang dalam setiap debat terbuka. Tak perduli meskipun dengan cara menjatuhkan lawan dan membuat penulis lain lari tunggang langgang dan kecewa.
Tapi itulah fakta dimana pun berada. Di antara mereka yang menyebarkan senyuman, karena alasan politis justru menyebarkan amarah, dendam dan intrik yang sungguh menyakitkan. Bagi yang tidak terbiasa maka akan muncul ketersinggungan dan ketidaknyamanan. Bahkan bisa saja beradu kekuatan.
Padahal apa yang dicari selain kebebasan berekspresi. Jika ingin hadiah, cukuplah masuk ke ranah kompetisi. Namun sayang sekali, justru kebanyakan para politisi bagaimana membela jagoannya tanpa memberi sedikit empati. Bolehlah disebut risiko tapi sungguh merusak konsep kompasiana sendiri. Menulis bukan memfitnah dan bukan pula mencari "wah". Apalagi mencari musuh maka dirinya pun akan jatuh.