Persoalan pokok mengapa para wanita ingin bekerja ke luar negeri adalah: faktor ekonomi, broken home dan status sosial
Benarkah anggapan tadi? Benar. Itu menurut saya pribadi yang hidup bersama-sama sosok yang kini menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Bukan hanya keluarga sendiri, karena saat ini pun di lingkungan saya, banyak pria yang mendadak jomblo. Jomblo bukan ditinggal mati atau meninggalnya sang istri, tapi jomblo karena harus menjadi "aceng". Para wanita kebanyakan berprofesi sebagai buruh migran. Mereka menjalani kontrak sebagai TKW.
Meskipun para pria pun banyak pula yang berprose sama, tapi untuk saat ini didominasi para kaum hawa ini.
Kog saya mendadak gemes ya kalau liat sinetron di salah satu tv swasta itu? Tauk ah.
Faktor ekonomi menjadi faktor utama mengapa kaum hawa "nekat" menjadi pekerja di luar negeri.
Yap, ekonomi atau kebutuhan hidup selalu menjadi energi mengapa para wanita ini mau mengerahkan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk mencari sesuap nasi.
Sesuap nasi yang sejatinya bisa dicari di negeri sendiri ternyata tak sebanyak jika dibandingkan dengan mencarinya di rantau orang.
Misalnya saja seorang pekerja kantoran yang dengan pakaian serba necis di perusahaan dalam negeri, akan jauh pengasilannya jika dibandingkan dengan seorang penjaga nenek-nenek atau pengurus orang tua.
Dengan UMP sebesar 2,5 juta rupiah pun akan jauh banget hasilnya dengan mereka yang bekerja di Korea, Jepang, Taiwan, Brunei Darussalam atau Amerika Serikat. Karena di negeri-negeri tersebut penghasilannya bisa mencapai 12 juta bahkan lebih jika mereka bisa mencari tambahan lain. Atau para pekerja pabrik yang jika mendapatkan lembur atau objekan lain, maka penghasilannya bertambah.
Tambahan ini bisa yang halal dan bisa juga yang haram tergantung ketertarikan sang pekerja atau buruh migran tadi. Meskipun tidak termasuk negeri Jiran Malaysia yang gajinya paling kecil untuk ukuran Asia.