Saya tertawa geli dengan para penulis di jagat media sekarang, gak hanya di kompasiana, di blog pribadi saja sudah sangat lucu selucu lucu sampai guling-guling terjungkal-jungkal. Bagaimana tidak lucu, ketika seorang Ahok masih menjadi Bupati di Belitung Timur, semua mendukung dengan alasan itulah demokrasi yang baik. Setiap orang boleh saja menjadi kepala daerah di daerah teristimewa ini. Jakarta adalah kota yang diidam-idamkan oleh semua orang, tak hanya penjual pecel, para pemilik modal dan madel pun ingin menguasai Jakarta dengan cara yang kadang memuakkan. Dengan merangseknya Ahok ke Jakarta, semakin menjadi fenomena, siapapun berhak dan bisa menjadi pemimpin daerah ini.
Begitu pula dengan kehadiran sosok ibu-ibu yang nan cemerlang ini, Tri Rismaharini yang menjadi sorotan publik dengan segudang prestasi karena mengharumkan nama Kota Surabaya di kancah internasional. Bahkan saking hebatnya kinerja beliau, kota yang sempat kumuh (dulu) kini terlihat bersih dan menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.
Namun sayang sekali, ketika berbicara politik, semua menjadi pandai berorasi, bermain kata-kata dan bermain argumen. Meskipun argumen tidak layak diterima ternyata banyak yang setuju dan sepihak dengan argumen itu.
Lalu, apa hubungannya antara Indonesia yang bukan hanya Jakarta dengan polemik pilkada DKI Jakarta yang sebentar lagi dihelat?
Apa masalahnya? Ini saya jelaskan duduk persoalannya.
Dahulu kala, ketika Ahok tengah naik daun di Belitung Timur, tidak akan menyangka bisa menjadi Gubernur di ibukota, bagaimana bisa disangka-sangka, dengan melawan beberapa calon yang juga sangat kuat, beliau bisa memenangkan laga politik bersama Pak Jokowi hingga panggung hiburan para politisi menjadi sangat meriah karena diisi oleh orang baru. Secara gitu loh, orang yang bukan asli Jakarta kenapa bisa menjadi pemimpin? Ada yang menganggap aneh dan mustahil, karena persaingannya terlampau berat. Tapi itu tadi, karena dukungannya mengalir deras, maka Jokowi dan Ahok akhirnya menjadi pasangan yang bertahan sampai pelantikan usai dilaksanakan. Bahkan beberapa tahun kemudian sampai pak Jokowi dicalonkan menjadi Presiden RI.
Semua pasti mengatakan, mengapa menjadi gubernur DKI. Jakarta, Kan Indonesia tidak hanya di Jakarta. Dan kembali perdebatan serta tarik ulur terjadi di tingkat para politisi. Bahkan sampai pada para pedagang pecel semua terlihat aneh mengapa orang di luar Jakarta bisa memimpin Jakarta, padahal aturannya adalahh orang yang semestinya penduduk setempat atau bermukim di daerah itu. Dengan dibuktikan kepemilikan KTP atau identitas lain. Kenapa keduanya bisa terpilih? Padahal orang Jakarta semula menganggapnya biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa.
Dan anehnya lagi, terjadinya penggelembungan suara dengan munculnya pendatang siluman dan dadakan yang ikut meramaikan proses pemilihan, jadilah suara membengkak dan banyak yang tidak percaya dengan hasil perolehan suara yang cukup signifikan. Pendatang siluman menjelang Pilkada selalu saja ada dan itu seperti gerakan yang sudah terstruktur yang tujuannya memenangkan kompetisi. Cara-cara curang dengan imbalan sejumlah uang menjadi salah satu cara yang paling menarik di abad ini.
Politik mengalir seiring dengan berita yang mendukung dan menyudutkan, opini positif maupun fitnah, permainan money politik yang sampai sekarang masih terjadi. Dan tidak menampik dengan semakin banyaknya uang disebar, ternyata berefek positif terhadap keterpilihan para calon. Belum lagi ditambah permainan para hacker bayaran yang sudah membuat situs-situs palsu dan akun kloningan agar mendukung salah satu kandidat yang hendak berlaga.
Dan akhirnya, keduanyanya hidup nyaman di panggung besar DKI Jakarta.
Nah, kini Tri Rismaharini juga tengah didorong mau menjadi kepala daerah di daerah rebutan ini. Daerah yang teramat harum dan manis bagi para politisi. Semua orang ingin menjadi pemimpin daerah ini. Tapi apa yang terjadi? Yang menolak pencalonan beliau mengatakan "mengapa ke Jakarta, kan Indonesia gak hanya Jakarta. Kenapa tidak di Jawa Timur menggantikan Sukarwo?