Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Aku Memang (Bukan) Sampah

Diperbarui: 23 April 2016   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : martonesia.wordpress.com"][/caption]"Sampah.... uh luar biasanya nasib sampah karena disandingkan dengan diriku yang lemah ini. Setelah semua terjadi padaku ternyata apa yang telah aku korbankan tak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka meninggalkanku setelah aku begini. Tak ada angin tak ada hujan, kehidupanku kini tidak ada gunanya lagi. Serasa ingin mati saja!"

Bima terpekur di atas dipan tua itu, dalam keadaan yang serba kekurangan dia terbaring lemah tak berdaya. Tubuhnya kurus seperti tak ada lagi sekerat dagingpun yang menempel di tubuhnya. Dala dukanya yang dalam itu, seakan-akan para cicak menatapnya dan menertawai apa yang terjadi. Tak hanya cicak yang berlari kesana kemari memperhatikan tingkahnya yang aneh, nyamuk-nyamukpun seperti menaruh iba. Saking ibanya, tidak ada satupun yang mau menyentuh kulitnya. Padahal nyamuk mana sih yang tidak ingin menghisap darah korbannya. Bukankah nyamun itu seperti vampir yang juga haus akan darah?

Ia seperti kehilangan harapan hidup.

Semenjak lima tahun yang lalu, perkenalannya dengan Reki membuat dirinya semakin terhanyut dalam gelimangan dosa dan penyesalah yang sepertinya tak termaafkan. Sahabat yang ia dapatkan ketika pertama kali menempuh pendidikan tinggi di Jogyakarta itu ternyata membuatnya seperti sampah yang tidak berguna. Masih beruntung nasib sampah yang bisa dimanfaatkan lagi. Sedangkan Bima, seperti tidak lagi memiliki daya, tubuhnya hidup tapi serasa mati. Napasnya pun tak lagi sekencang dulu, dan jatungnya yang gagah perkasa ketika harus berlari mencari mimpi-mimpi yang telah hilang itu sepertinya sudah kehilangan kesadaran. Tinggal menanti ajal tepatnya.

Tangannya yang perkasa yang semestinya bisa digunakan untuk menulis huruf demi huruf tugas akhirnya itu kini tinggallah kerangka yang seakan-akan mati. Jangankan untuk merangkai kata-kata yang indah untuk menyelesaikan kuliahnya, untuk digerakkan saja sudah sulit. Kini tinggal kenangan. Mayat mungkin lebih baik dari dirinya. Karena ada banyak orang yang peduli, di sisi-sisi mereka banyak yang mendoakan dan membacakan alunan ayat-ayat suci, atau sekedar senandung kehidupan yang membuat dirinya semakin bersemangat.

Tapi ini tidak ada, semua hampa, semua meninggalkannya setelah kehidupannya seperti berharga. Tubuh yang terlihat renta meskipun usianya masih dua puluh tahunan ternyata semakin membuat orang-orang di sekitarnya semakin jijik.

"Oh Tuhan, betapa hidupku ini tak berharga. Penyakit semuanya ingin hinggap di sini, di tubuh ini. Padahal aku masih ingin menyelesaikan kuliahku. Aku ingin membahagiakan ibu dan ayahku. Dan aku ingin mempersembahkan fotoku yang memakai toga hitam itu." 

"Tuhan, sampai kapan aku begini?"

Dalam keluh kesahnya itu ia teringat kembali akan detik-detik perkenalan dengan Reki yang awalnya seperti seorang dewa penolong. Dia begitu antusiasnya membantuku yang tengah sibuk mencari tempat berteduh dan teman ngobrol. Dia tiba-tiba hadir dalam lamunanku. Sekilas tidak nampak bahwa dia hanyalah anjing yang tengah lapar. Atau hanyalah iblis yang sengaja menggodaku untuk menikmati pil haram itu. Obat yang sama sekali tidak aku pahami sebelumnya. Dia hanya memberikan penjelasan padaku, bahwa aku akan mendapatkan kesenangan dengannya. 

"Hai, mahasiswa baru!"

"Apa kabar? Sapa Reki kala itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline