[caption caption="Gambar : otodidakeri.wordpress.com"][/caption]
Di suasana pagi yang nampak gelap temaram. Awan perlahan-lahan menyelimuti cakrawala. Semua tenang dalam kesibukan. Awan yang tengah berarak itu seolah-olah menatap keluarga kecil di kampung Sekata. Keluarga yang hidup dalam kedamaian. Bagaimana tidak damai, mereka berkecukupan, tanah pekarangan dan ladang ada di mana-mana.
Meskipun mereka bukan dari golongan bangsawan atau keturunan raja, mereka sudah menikmati segalanya. Mereka juga bukan golongan pejabat negara dengan gaji puluhan juta rupiah dengan aneka merek mobil berjajar di garasi mobilnya. Mereka hanyalah masyarakat desa yang menggantungkan hidupnya dari bertani. Bercocok tanam jagung dan menanam padi. Meski begitu menanam singkong adalah kebanggaan. Karena baru sekaranglah singkong-singkong mereka laku terjual, setelah sekian lama tidak ada harganya.
Menanam singkong jangan berharap mendapatkan uang yang sesuai. Makanya kala itu kehidupannya amat sederhana. Kebanyakan hari-harinya hanya menikmati nasi tiwol berbahan dasar gaplek. Singkong menjadi bahan utama yang dikupas lalu dikeringkan, ditumbuk dan dimasak berbentuk butiran-butiran kecil. Sedangkan beras, adalah hidangan milik kaum kaya saja, ya minimal hanya bisa dinikmati oleh pegawai negeri dan pengusaha sukses. Beras adalah hidangan istimewa yang siap berjajar di meja-meja para konglomerat dan orang-orang yang berpesta pernikahan, kelahiran atau khitanan. Hanyalah orang tertentu yang bisa menikmati nasi beras yang empuk dan pulen itu.
Bersyukur sekali kehidupan mereka? Ya begitulah. Meskipun tidak kaya raya, kehidupannya amat berkecukupan. Menjadi wanita cantik adalah dambaan semua orang, memiliki suami yang tampan sudah ada di tangan. Masyarakatnya rukun dan damai sebuah keindahan yang tidak bisa diukur dengan apapun. Semua berjalan elok menyusuri perputaran roda kehidupan dan detak jantung serta jam dinding yang tak henti-hentinya. Menjadi rekaman kehidupan yang seiring sejalan.
Di antara kerumunan masyarakat yang lalu lalang, tengah termenuh seorang pria muda di sebuah kursi roda tua. Wajahnya kurus dengan tubuh yang tidak persisi karena bagian kaki dan tangannya kecil. Ia hanya bisa terduduk lemah. Sesekali tangannya berusaha digerakkan untuk mengusir lalat yang hinggap di wajahnya. Tepat dihidungnya yang nampak sentrap-sentrup karena flu yang diderita. Belum lagi lendir terus saja mengalir keluar tanpa mampu membersihkan sendiri. Dalam kesendirian itu ia hanya mampu memandangi keramaian orang yang melintas di depannya. Suara knalpot sepeda motor bersama cengingisan orang-orang di sana menambah suara gaduh. Belum lagi debu beterbangan menyesakkan suasana jalanan itu. Suara-suara ayam bersama anak-anaknya juga menghiasi suasana di sekelilingnya.
"Pah, kenapa sih Papah gak mau bantuin Mamah mengurus si Bujang? Aku capek, lelah dan ingin istirahat. Coba saja Pah, dari sejak kelahiran anak kita itu, kehidupan kita jadi berubah. Papah seolah-oleh tidak terima dengan apa yang terjadi, perhatian Papah sama aku istrimu pun sekarang sudah berbeda. Dimintain tolong memandikan Bujang saja Papah seperti nggak peduli. Kenapa sih Pah? Apa yang salah dengan kelahiran Bujang?
Dalam perenungannya Bujang mendengar papah mamahnya bertengkar. Dari awal sejak kelahirannya, seolah-olah dirinya hanyalah aib. Semua orang menjadi benci dan mencibir. Bujang dianggap seperti sampah oleh papahnya. Bahkan sejak kelahirannya papah yang biasanya begitu perhatian, saat ini sikapnya jauh berbeda.
Di mana-mana papahnya mengutuki dirinya, entah di rumah entah di hadapan teman-temannya, papahnya selalu mengatakan bahwa dirinya adalah kutukan. Anak sial lah tepatnya.
“Bang, saya heran, kenapa anak abang itu kog tubuhnya nggak jelas begitu? Cacat dan iiiihhhhhh, saja jijik ngeliatnya.
"Emang istri abang selingkuh?"