[caption caption="Bangga bisa mendukung semangat anak dalam mengikuti beladiri. Berpose dulu sesaat sebelum mengikuti latihan bareng karate di Masjid Agung Taqwa Metro Lampung (doc. prbadi)"][/caption]Sudah berberapa bulan ini, putri kami yang sulung mengikuti latihan bela diri Karate di SD di mana saat ini ia bersekolah. Kegiatan dua hari dalam sepekan yang diprogramkan sebagai program ekstra kurikuler bagi anak-anak yang berminat. Kebetulan si sulung begitu bersemangat, meskipun hanya beberapa anak saja yang ikut. Oleh karena itu karena sang anak sudah bersemangat, maka orang tua (kami) pun berusaha untuk memberikan dukungan. Olahraga yang sejatinya memberikan manfaat kesehatan, ketangkasan dan juga bekal keberanian dalam menjalani kehidupan yang keras seperti saat ini.
Dukungan tidak semata-mata dukungan material, karena dukungan moral justru lebih banyak dibutuhkan anak. Apalagi anak-anak memiliki kepribadian yang labil, kadang mau kadang tidak. Kadang bersemangat kadang loyo. Itu amat wajar terjadi pada anak-anak seusia sekolah dasar.
Kegiatan yang sebenarnya amat malas dilakukan oleh anak, lantaran saat ini dunia anak-anak adalah dunia bermain, entah bermain dengan gadget, atau sekedar nonton tv.
Anak-anak yang biasanya suka yang bebas, karena memang dunianya membutuhkan kebebasan, ternyata setelah ditelaah, justru dengan kebebasan yang tidak dibatasi membuat anak semakin kurang terarah. Sama seperti anak kami yang pertama ini, kalau berkaitan dengan kegiatan sekolah awalnya kurang hoby, lantaran memang tidak banyak teman yang mengikuti kegiatan ini. Meskipun aneka kegiatan ekstra kurikuler ditawarkan pihak sekolah, ternyata bela diri karate ini sangat ia gemari.
Sebuah keputusan yang positif dan layak didukung orang tua, sebagai alternatif kegiatan untuk kesibukan anak, daripada membiarkannya menghabiskan hari-hari di depan gadget. Di depan gadget boleh-boleh saja, asal timing dan durasinya diatur. Jadi kegiatan senang-senang ini jangan sampai menyita waktu istirahat dan belajar. Walaupun mengikuti beladiri pun sejatinya adalah senang-senang atau hiburan, lantaran di dalamnya ditemukan banyak teman yang menyukai hoby yang sama. Mencari hiburan tapi sekaligus mendapatkan bekal keterampilan beladiri. Selain bisa senang-senang, mereka mendapatkan ilmu ketangkasan yang penting bagi kehidupan mereka.
Meskipun awalnya kami kurang begitu sreg, lantaran kebiasaan anak-anak kalau menyukai sesuatu jarang yang maton alias konsisten. Mereka suka kegiatan karena banyak temannya. Jika teman-temannya banyak yang ikut, biasanya mereka sangat bersemangat. Bertolak belakang jika teman-temannya tidak aktif mengikuti kegiatan, maka sudah dapat dipastikan yang awalnya bersemangat lambat laun menjadi sirna. Sama seperti si sulung, yang awalnya sempat kurang bersemangat lantaran beberapa temannya mengundurkan diri dari latihan. Tapi karena motivasi selalu diberikan, maka lambat laun mereka akan mencintai apa yang menjadi kesibukannya itu meskipun tanpa teman satupun.
Teman bisa menjadi energi untuk sukses, juga bisa menjadi energi negatif yang justru membuat kita gagal jika tidak tepat dalam memilih.
Memilih ikut beladiri untuk melindungi diri dari kekerasan teman lain
Mengikuti kegiatan bela diri sebenarnya keinginan orang tua saat ini, lantaran melihat banyaknya kejahatan yang terjadi pada anak-anak, baik kejahatan di sekolah maupun di luar sekolah. Sama seperti kami yang senantiasa mengarahkan anak dengan ketrampilan bertahan dari serangan orang-orang yang jahat ini. Karena selama ini, pergaulan anak seringkali berhadapan pada kekerasan yang mereka dapatkan. Entah sesama teman, atau orang lain yang sengaja membully lantaran ingin menguasai dan mengintimidasi. Meskipun motivasi dari orang tua sangatlah penting, tapi kemauan anak semestinya didukung dan disemangati agar tetap konsisten mengikuti kegiatan tersebut.
Seperti beberapa laporan orang tua yang sempat saya ajak diskusi, mereka mengatakan bahwa kebanyakan orang tua membekali mereka dengan bela diri, lantaran saat ini anak-anak seusia SD saja pandai membuat onar. Kepada anak-anak yang bertipe pendiam, teman-teman yang merasa superior cenderung bersikap agresif, memukul, mengejek atau memancing-mancing emosi anak-anak lainnya. Bagi anak yang bertipe pendiam ini tentu akan menjadi bulan-bulanan anak-anak yang merasa superior ini. Mereka seolah-olah penguasa kelas yang tidak ada anak lain yang bisa melawan kehendaknya. Maka amat sering terjadi, anak yang pendiam ini menangis di sekolah dan pulang dengan penuh pukulan, lantaran mendapatkan perlakuan kasar dari anak lain. Anak-anak yang merasa hebat ini seringkali ingin menjadi preman kecil-kecilan di sekolah. Kalau para calon korbannya tidak memiliki pegangan atau keterampilan bela diri, maka jangan harap mereka akan selamat dari kekerasan mereka.
Bahkan seperti informasi yang saya dapatkan, keberadaan guru dan kepala sekolah yang seharusnya mendukung anak agar tidak mendapatkan perlakuan kasar, justru seperti tidak berdaya. Mereka seolah-olah tidak mampu mencegah kekerasan pada anak ini terjadi, lantaran yang melakukan adalah teman sekolah sendiri. Kadang anehnya lagi, anak-anak yang berprilaku menyakiti ini mendapatkan pembelaan dari guru maupun kepala sekolah lantaran orang tua pelaku adalah sosok yang disegani. Mereka takut mendapatkan ancaman, jika berlaku kasar pada anak-anak tersebut. Dan anehnya lagi, ketika kekerasan terjadi di sekolah, orang tua acapkali ikut nimbrung untuk membalas prilaku kekerasan yang sebenarnya amat tidak pantas dilakukan.