Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Wahai Orang Tua, Jangan Paksa Anak Seperti Maumu!

Diperbarui: 16 Oktober 2015   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini berawal dari pembicaraan kami dengan teman sesama guru, sebutlah namanya ibu Bunga, ia adalah guru honorer di mana saat ini aku mengabdikan diriku dalam institusi bagi sekolah berkebutuhan khusus. Kira-kira sepekan yang lalu, ibu Bunga tiba-tiba curhat kepadaku selaku teman sesama sekolah, terkait aktivitas beliau di kelasnya.

Kurang lebih beliau curhat begini "Pak, saya jadi nggak enak hati sama ibu itu, setiap kali saya mengajar kog dia selalu saja mengintip di jendela, sudah begitu sepertinya ia memaksakan saya untuk mengajarkan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya. Padahal beliau sendiri tahu bahwa anaknya adalah down syndrom, yang kebetulan anak yang kemampuannya sebatas mampu latih. Tapi ibunya memaksa sang anak seperti anak-anak yang lainnya." Saya seketika itu menanggapi keluhannya dengan mengatakan "lakukan yang ibu pahami dalam mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, jika orang tua tidak menerima kenyataan terhadap apa yang dialami anaknya, itu amat wajar. Siapa sih yang tak ingin anaknya menjadi seperti anak pada umumnya.

Pembicaraan itu tidak seketika itu saya akhiri di situ saja, karena saya terus mengamati kondisi anak yang memang selalu diantar dan memiliki kelemahan dalam fisik, psikis dan kognisinya. Saya mengamati juga bagaimana sang ibu terus memaksa anaknya seperti yang beliu inginkan. Sebagaimana pernyataan beliau yang saya tangkap di sela-sela istirahat. Beliau mengatakan "ituloh pak anak saya kog nggak ada perubahan ya? Dari dulu gak bisa nulis-nulis.

Saya menanyakan balik ke ibu tersebut, "apakah anak ibu sudah bisa mandi sendiri, makan sendiri dan bisa memakai baju sendiri?. Beliau mengatakan "iya, anak saya sudah bisa makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri." Lah itu anak ibu sudah ada kemajuan, berarti ada perubahan pada kondisi anak ibu saat ini. Meskipun kemajuannya pada hal tertentu yang menyangkut kebiasaan sehari-hari. Seketika itu sang ibu pun terdiam dan terlihat beliau mengakui bahwa memang sang anak sudah ada perubahan prilaku sejak bersekolah di sekolah kami.

Berdasarkan cerita ini, hakekatnya banyak di antara kita-khususnya orang tua dari anak berkebutuhan khusus- kurang memahami kondisi sang anak. Padahal sebelum mereka masuk sekolah, ada assessment terhadap calon siswa untuk mengetahui beberapa kemampuan dan kelemahan anak yang bisa dijadikan obyek perkembangan dan layanan yang akan diberikan. Namun demikian, tidak semua orang tua ngeh dan memahami terkait kondisi anak, kebanyakan mereka menuntut sang anak untuk menjadi sosok yang seperti impian mereka. Meskipun kondisi anak dengan melihat kondisi yang dialaminya aman kecil kemungkinan memiliki kemampuan secara kognitif seperti anak-anak sebayanya.

Sebagaimana dipahami bahwa anak-anak sindrom down (down syndrom) seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. sumber

Down syndrom merupakan salah satu bagian tunagrahita yaitu merupakan kelainan kromosom, yakni terbentuknya kromosom 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sebagaimana diketemukan oleh Dr. John Longdon Down tahun 1866. (Aqila Smart, 2010)

Dengan kondisi yang dialami anak-anak down syndrom pada akhirnya akan mengalami perhambatan pertumbuhan secara fisik maupun psikis dan dampaknya anak-anak ini memiliki kecenderungan berbeda dari anak-anak normal pada umumnya. Sehingga jika melihat kondisi tersebut, selayaknya anak diberikan layanan disesuaikan dengan kebutuhannya. Di mana yang dialami anak tersebut mereka lebih banyak membutuhkan latihan untuk kemandirian. Sehingga suatu saat nanti sang anak tidak lagi menjadi beban orang-orang di sekitarnya. Minimal mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri secara personal.

Adapun penangannya tentu saja membutuhkan metode-metode khusus dengan tepat agar anak dengan kondisi fisik dan mental ini dapat ditangani dengan maksimal.

Terlepas dari kondisi dan bagaimana memberikan layanan yang tepat, ada beberapa hal yang turut memicu mengapa orang tua acapkali tidak menerima kondisi anak-anak berkebutuhan khusus. Tak hanya bagi anak down syndrom, karena anak-anak lain yang memiliki kelemahan berbeda pun acapkali mendapatkan perlakuan yang kurang layak dari orang tuanya.

Seperti contoh pak Mamat, (bukan nama sebenarnya) saat ini beliau tinggal di kota yang sama dengan saya, beliau acapkali memperlakukan anaknya dengan sangat keras, kebetulan sang anak adalah anak tuna rungu wicara, yakni memiliki kelemahan dalam bidang pendengaran dan kelemahan dalam berbicara. Anak tersebut tidak bisa diajak berkomunikasi secara lisan, jadi sang anak menerima setiap informasi, perintah dan ajakan dengan bahasa isyarat. Sayang sekali orang tua sedikit memiliki karakter yang keras, jadi kurang memahami bagaimana kondisi anak. Ketika anak melakukan kesalahan, ia justru memperlakukan sang anak dengan kekerasan, bahkan saking kerasnya kepada anak, anak yang tidak bisa mendengar dan berbicara ini menjadi takut dan berusaha lari dari rumah lantaran kekerasan yang dialaminya. Kekerasan dalam hal ini bukan berarti secara fisik, misalnya dipukul, tapi kekerasan secara psikis, dibentak-bentak dan kerap sekali sang anak mendapatkan amarah sang ayah. Kadang terlihat aneh, anak yang tidak bisa mendengar kog dibentak-bentak? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline