Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Mungkinkah Indonesia Seperti Nauru?

Diperbarui: 16 September 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tercengang, nggak habis pikir dan ora mudeng kok bisa-bisanya negara yang tadinya kaya raya ternyata tiba-tiba menjadi miskin. Sekilas informasi itu dari sebuah tayangan video kilat di Youtube. Bangsa yang hidup dari hasil tambang fosfatnya dan bangsa yang dibangun di pulau kecil harus berakhir tragis lantaran kehidupan yang awalnya penuh dengan kesenangan, kekayaan yang merata dimiliki seluruh rakyatnya ternyata harus gulung tikar akibat berfoya-foya. 

Nauru, adalah negara kaya yang tiba-tiba bangkrut. Mereka yang biasanya menikmati kehidupan dengan bermewah-mewahan, ternyata terpedaya dan ternina bobokkan dengan kekayaan yang dimiliki. Beberapa tahun berselang setelah mereka menikmati pesawat udara sendiri, mobil pribadi yang lumayan mahal serta fasilitas kehidupan yang serba lux ternyata tak berlangsung lama.

Negara yang katanya surga lantaran semua ada, ee ternyata karena persediaan tambangnya mulai habis, mereka tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Justru kemelaratan tanpa meninggalkan potensi apapun di saat keterpurukan itu.

Melihat Indonesia...

Indonesia, sejak zaman dahulu dikenal dengan negeri yang cantik, jamrud katulistiwa, tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman, dan sebutan yang cukup membuat bangga atas kekayaan yang dimiliki negeri ini. Tapi, bukankah kekayaan itu tidak ada yang kekal? Setiap hari kita memungut isi perut bumi untuk berfoya-foya. Setiap hari kita membabat hutan demi bisa mengeruk kekayaan dari kayu-kayu yang semestinya dipelihara, dan kita begitu sombongnya menepuk dada, bahwa kita memiliki aneka tambang. Seperti emas di Papua yang notabene lambat laun juga akan habis. Hutan yang setiap jengkal kini telah ditebang dan dibakar demi pembangunan dan perkebunan, dan tanaman padi yang semula dihasilkan di negeri ini kini tinggal kenangan. Dulu kita adalah negara penghasil beras yang masuk kategori swasembada pangan. Kita bisa mengekspornya untuk dibelikan produk lain. Kini swasembada beras itu tinggal kenangan. Apa sebab, karena tanah-tanah persawahan kita hampir sepertiganya sudah menjadi permukiman dan kawasan industri. 

Jangan berharap kita bisa menikmati kekayaan bumi untuk selamanya karena semua tidak ada yang kekal. Suatu saat akan habis digunakan untuk membiayai hidup kita yang MAHAL. Dan jangan dikira bahwa kita akan selamanya menikmati segarnya oksigen lantaran hutan-hutan sudah mulai menggundul. Dan hasil laut, jika eksploitasi laut tidak mempertimbangkan pelestariannya, tentu suatu saat kita akan kehabisan stok. Apalagi tidak menciptakan teknologi pelestarian biota laut agar kehidupan ikan-ikan itu tetap tumbuh dan berkembang di dalamnya.

Bagaimana kehidupan rakyatnya?

Saat ini saja, meskipun negeri kita dianggap negara miskin di dunia- meskipun bukan termiskin- toh faktanya rakyatnya bisa dengan mudah menikmati fasilitas mewah, kendaraan mewah yang bernilai milyaran serta menikmati kehidupan glamour meskipun hampir semuanya berasal dari mengeruk hasil bumi.

Kita sudah enggan lagi menggunakan kendaraan umum lantaran gengsi dan status sosial yang ingin dianggap elit. Satu lagi, kaitan berwisata, kita lebih menyukai berwisata ke luar negeri dengan biaya selangit, daripada memanfaatkan keindahan negeri sendiri yang tergolong murah. Kita terbiasa dengan prestise bahwa dengan penampilan yang mewah maka kita termasuk masyarakat yang maju. Istilah bahasa daerahnya Ora masalah tekor, seng penteng kesohor. Tidak masalah bangkrut yang penting dikenal oleh banyak orang.

Saat ini saja, keberadaan minyak bumi sudah mulai menipis, hutan sudah banyak yang habis ditebang bahkan sudah banyak yang terbakar dan dijadikan perkebunan serta permukiman. Belum lagi kondisi air tanah sudah banyak yang tercemar limbah industri.

Saat ini sudah demikian parahnya, bagaimana lima puluh tahun lagi atau seratus tahun lagi? Sungguh kondisi yang cukup mengkhawatirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline