Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Banggalah Jadi Orang Kampung(an)

Diperbarui: 8 September 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Heeem panas-panas begini enakan makan apa ya bro? Kata sahabatku yang lumayan perlente lantaran sudah lama tinggal di kota. Aku hanya mesam-mesem lantaran melihat gaya sahabat yang sudah berubah drastis. Ia yang biasanya kalau bertandang ke rumah bilangnya "kang atau mas" kini sudah berganti "bro". Begitu pula jika berbicara dengan saudara perempuanku ia tak merubah gaya bicaranya yang kekota-kotaan itu. Sis mau minum apaan? Gue yang mbayarin. Mendengar perkataan sahabat satu ini kadang perut saya mules dan ingin terkentut-kentut lantaran perubahan yang drastis itu. 

Wes to... nggak usah nganggo bahasa planet laen ngono, nyelok aku cukop jenengku opo liane ora seng aneh-aneh. Sudah lah, tidak usah menggunakan bahasa planet begitu, memanggilku cukup nama jangan yang aneh-aneh. Kataku jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maklum di manapun berada, bahasa Jawa selalu menjadi bahasa pergaulan jika sahabat-sahabatku orang Jawa, tapi kalau ketemu sama penduduk pribumi (Lampung) tentu saya memakai bahasa Indonesia. Bahkan di antara mereka banyak yang sudah menguasai bahasa Jawa. Jadi obrolan mengalir lancar saja.

Ada juga yang aneh lagi, yang biasanya kalau sekolah jalan kaki atau naik sepeda, kini yang diomongin pastilah "ntar kita walking-walking make honda jazz ya bro" padahal punyanya ya motor saja. Apalagi kalau disuruh naik sepeda pastilah jawabannya "walah hari gini make sepeda butut kayak begitu? Kakiku pastilah lecet semua dan lututku copot.

Sebutan yang tadinya nyaman dengan panggilan mas, kang atau nama saja kini berubah menjadi sangat aneh. Meskipun terlihat seperti kalangan atas (elit) tapi tak sesuai dengan kebiasaan sehari-hari. Saya pikir ini orang apa sudah kerasukan jin Jakarta ya? Kog di kampung berubah total begini?

Itulah kesan yang saya tangkap saat ini ketika berjumpa dengan teman-teman yang dulunya bisa ngopi bareng, tidur beralaskan tikar sewaktu kuliah, atau sekolah berjalan kaki, ternyata kini tinggal kenangan. Mereka yang dulunya di kampung bersama keluarga sudah terbiasa makan "sego tiwul" atau bahan makanan dari singkong ini, kini gaya bicaranya seperti masyarakat yang terbiasa makan roti sama keju. Tak ingat lagi kalau pernah makan sepiring berdua waktu di kos-kosan, atau pernah numpang tidur di markas organisasi bersama. Apalagi kalau ditanya terkait anggota keluarganya yang di kampung, tentu jawabnya ketus "dah nggak usah ngomongin yang di kampung, males". Loh kog bisa, keluarga sendiri dilupakan demi pencitraan. Seolah-olah ia bukanlah keturunan orang desa, atau anak kampung (an), lupa bahwa ia pernah menikmati kehidupan bersama penduduk desa yang polos dan apa adanya. Kini berubah dan lupa diri, lupa daratan.

Lama tinggal di Kota, lupa yang di kampung

Fenomena anak-anak muda saat ini memang cukup menggelikan, karena pengaruh media informasi dan pergaulan yang berubah, pola komunikasi juga tak luput dari perubahan itu. Semua mengalir saja seperti tak lagi bisa direm. Media informasi, termasuk media sosial juga mempengaruhi gaya hidup. Tapi sayang sekali, di antara mereka telah lupa bahwa mereka dilahirkan di kalangan kaum miskin dan awam, lantaran memang tinggalnya di desa. Setelah mereka di kota, mereka lupa bahwa ia harus memikirkan kampung sendiri agar kampungnya dikembangkan lagi dan dibudidayakan agar semakin maju.

Dan lebih prihatin lagi, ketika ditanya dimana tinggalmu mas? ia selalu menjawab "jauh kog mas" nama kampungnya apa? jawabnya sekenanya. Ia berusaha berkelit dan berusaha menutupi identitas pribadinya sendiri yang notabene lahir dari masyarakat kampung.

Tapi memang, kapasitas seseorang tidak semuanya sama, tergantung pribadi masing-masing lantaran juga dipengaruhi oleh keluarga mereka bagaimana mereka bersikap.

Yang aneh lagi, meskipun mereka berasal dari kampung, karena lama menetap di kota gaya bicaranya sudah yang "gede-gede" tak cocok lagi jika diajak bicara mengenai persoalan petani, kebun, singkong, sawit atau persoalan di kampung. Mereka "emoh" membicarakan itu lantaran dianggap kampungan.

Anda orang Kampung, Jangan Malu disebut Kampungan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline