Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Toilet Umum Untuk Siapa?

Diperbarui: 9 Agustus 2015   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Membangun sarana sanitasi mewah untuk siapa? (doc. pribadi)"][/caption]

Berbicara mengenai toilet umum sepertinya sudah tidak asing lagi. Ada yang menganggap toilet umum hanyalah yang ada di terminal dan fasilitas umum yang biasanya dipatok seribu rupiah sekali pipis dan dua ribu rupiah jika ada hajat yang lebih besar. Meskipun fenomena keumuman dari toilet memang sering terjadi pro dan kontra lantaran semestinya fasilitas umum ini ya bebas digunakan masyarakat terkait kebutuhan mendesak dalam perjalanan misalnya.

Tapi memang dengan berbagai argumen, toilet umum ini pun akhirnya harus berbayar. Alih-alih membantu pejalan jauh yang tidak menemukan toilet pribadi, maka fasilitas umum inipun menjadi tempat yang paling mudah dijangkau masyarakat.

Tak hanya toilet yang sejatinya mahal, karena ada beberapa oknum yang sengaja menggunakan fasilitas yang dibangun Pemda ini untuk mengeruk keuntungan pribadi. Bagaimana tidak untuk kepentingan pribadi, karena dengan sistem pembayaran dipatok seribu rupiah bahkan ada yang terpaksa lebih lantaran tidak ada kembali dan ogah mengambil kembalian, ternyata setelah dikalkulasi jumlah penerimaan tidak semuanya masuk ke kas negara atau daerah. Sebagian lagi masuk ke kantung pribadi. Alasannya mudah, berapapun jumlah yang dimasukkan ke dalam kotak kan tidak ada yang tahu, hanya kejujuran si penjaganya. Kalau jujur maka haknya yang patut diambil tak mengambil milik negara. Bisa jadi uang yang masuk bisa ratusan ribu, ternyata hanya berapa ribu saja yang disetor lantaran tidak ada bukti pembayaran (kwitansi).

Coba saja kalau sistem toilet modern, sekali masuk  tinggal gesek memakai ATM dan panggunanya mendapatkan bukti pembayaran sedangkan penjaganya sama sekali tidak memegang uang. Tentu penerimaan negara akan lebih transparan dan minim disalah gunakan. Tapi beda di kota dan di kampung. Apalagi dibandingkan dengan negara maju tentu amat jauh tertinggal. Belum lagi kebersihan dan kenyamanan masih jauh dari yang sepatutnya.

Yang lebih aneh lagi, fasilitas toilet di bandara ternyata ada juga yang dipungut biaya. Meskipun tidak dipaksa tapi dengan keberadaan kotak uang di depan toilet tentu saja sedikit memaksa agar orang mau memasukkan uang minimal seribu rupiah. Padahal pihak bandara semestinya sama sekali tidak memungut biaya pada pengguna fasilitas umum yang terbilang mahal ini.

Selain toilet umum, tempat parkir juga rentan korupsi. Khususnya tempat parkir yang tidak memiliki kartu parkir, tentu penjaga parkir akan lebih kaya dibandingkan pengelola parkir. Apalagi parkir saat ini sudah diserahkan oleh Dinas Pasar, tentu banyak uang yang mampir di kantung penjaganya. Entahlah, apakah karena sistemnya persentase atau apa. Yang pasti semua akan luput dari kontrol pihak yang berwenang.

Seperti toilet umum yang notabene memang masih belum layak, tempat parkir yang notabene ketetapan ongkos parkir sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), ternyata masih saja diselimuti unsur korupsi. Pengguna parkir yang sejatinya sudah tahu bahwa ongkos parkir seribu rupiah, ternyata ada beberapa oknum tukang parkir yang menagih dua ribu rupiah tanpa memberikan alasan. Apalagi cara menagihnya lumayan kasar. Tentu pengguna parkir akan ketakutan. Karena dalam posisi ini pengguna parkir sudah merasa ditolong dijaga kendaraannya, jadi ketika harga dinaikkan sendiri seringkali tak sampai perdebatan panjang. Saya juga pernah mendapatkan tekanan ongkos parkir, tapi karena saya mengingatkan perdanya hanya seribu rupiah maka pihak tukang parkir pun akhirnya menerima penjelasan tersebut.

Berbeda sekali bagi konsumen yang tidak mempunyai nyali dan pengetahuan tentang keparkiran, mereka akan nurut saja jika harus membayar sesuai permintaan tukang parkir. Parkir parkir, di mana-mana sama saja ambil untung tak memikirkan bagaimana kondisi ekonomi saat ini.

Masih beruntung jika persoalan parkir bisa diredam karena saling mengalah, nah kalau sudah main kasar tentu dampaknya akan terjadi kekerasan, tak hanya secara perseorangan, lantaran ada juga yang membawa nama kelompok atau latar belakang keluarga. Dampak terberatnya tentu tawuran terjadi seperti yang terjadi di Lampung Selatan beberapa waktu lalu.

Terlepas fenomena toilet umum dan tempat parkir yang rawan korupsi, lantaran saat ini program pembuatan jamban (toilet) umum seringkali tidak tepat sasaran. Ada program yang digulirkan ini dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu. Dampaknya program sanitasi yang digulirkan dengan nilai proyek ratusan juta rupiah hanya dinikmati segelintir orang. Mereka mengajukan proyek tersebut dengan memanipulasi data penduduk dan tanda tangan hanya meminta keluarganya saja. Padahal proyek sanitasi itu tidak lain dan tidak bukan diperuntukkan bagi masyarakat umum yang membutuhkan fasilitas sanitasi di saat masyarakat tersebut belum memiliki fasilitas tersebut dengan baik. Misalnya sumur dan jamban keluarga yang masih jauh dari kata layak di daerah-daerah pinggiran. Tentu mereka lebih membutuhkan daripada membangun sarana ini di tempat yang rata-rata penduduknya sudah memiliki fasilitas sanitasi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline