Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Kisruh DPT, Emang Kesalahan Siapa?

Diperbarui: 15 September 2015   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi dunia politik Indonesia dirundung kekarutan, kekisruhan dan penuh dengan konflik yang  tak berujung dan berkesudahan. Bahkan akhir-akhir ini terlihat seperti semakin "kacau" lantaran ada banyak keganjilan data yang dianggap sangat sensitif dan diduga mengandung unsur rekayasa.

Di mana letak sensitifitas dan dugaan ada unsur rekayasa? Sensitifitas dan dugaan adanya unsur rekayasa yang menurut para partai politik peserta pemilu dan beberapa awak media massa adalah karena dalam daftar pemilih sementara terdapat nama-nama yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat bahwa nama yang bersangkutan sudah memiliki KTP dan tentu saja sudah berhak mengikuti pesta demokrasi. Karena batas usia pemegang KTP adalah 17 tahun.

Oleh karena itu siapa saja yang belum memenuhi usia tersebut berarti memang belum mempunyai KTP dan tentu saja belum berhak menyalurkan hak suara pada hajat pemilu. Selain adanya dugaan faktor kesengajaan dan kelalaian di atas, adapula faktor lain yang turut pengamat menjadi pemicu meruncingnya masalah pelik tersebut, yaitu beberapa nama yang sudah meninggal dunia masih turut tercantum dalam data pemilih sementara tersebut. Seperti diberitakan beberapa media nasional. Coba kira-kira aneh apa nggak? Jangankan orang yang memahami politik orang awam pun akan mencibir bahwa tindakan tersebut dianggap "maaf" bodoh. Tapi itulah fakta umum dan penyakit akut yang masih saja menggelayut dalam bayang-bayang kekalutan demokrasi Indonesia yang tak pernah usai.

Lalu siapa sebenarnya yang patut disalahkan? Apakah KPU? Atau Presiden SBY yang tidak mampu menyelesaikan masalah ini? Tentu saja KPU dan Presiden SBY selaku kepala pemerintah selalu menjadi tempat cibiran dan celaan akibat ketidakmampuan dalam membereskan karut marutnya DPT.

Saya tidak berhak menduga-duga bahwa persoalan ini merupakan usaha konspirasi kelompok tertentu, meskipun ada sebagian orang yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang tidak becus menyelenggarakan pesta demokrasi. Saya pikir sah-sah saja, karena memang hajat tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah, dan tentu saja siapa sih yang disudutkan kalau tidak Presiden SBY. Tapi apakah sesederhana tersebut? Apakah justru bukannya ini adalah konspirasi yang tujuannya menjatuhkan nama Persiden SBY dan tentu saja Partai Demokrat sebagai partai penguasa saat ini? Atau faktor lain yang pengamat dan siapun tidak dapat saling menuduh. Jika mau bertanya-tanya saya pikir tidak akan pernah menyelesaikan masalah, karena mencari kesalahan itu paling mudah daripada menyelesaikan persoalan yang sudah ada.

Tapi kembali pada persoalan siapa yang bersalah hakekatnya tidak serta merta menjadi rujukan bahwa Partai A atau B yang memicu persoalan kekarutan data pemilih tersebut. Akan tetapi mencari asal muasal permasalahan tersebut muncul. Jika kita hendak mencari di mana letak sebenarnya kesalahan awal yang memicu ruwetnya penyelesaian kasus DPT ini lantaran data pemilih menjadi awal sukses dan tidaknya demokrasi, jika DPTnya bermasalah tentu saja akan banyak tuntutan dan gugatan yang dilayangkan oleh partai yang kalah, walaupun hakekatnya jika partai yang menggugat itu menang pun sepertinya akan adem ayem. Tapi karena biaya untuk menyelenggaran demorasi ini menguras kantong para calon tentu saja peristiwa kekalahan sangat menyakitkan. Karena ketidak puasan personal inilah yang memunculkan kekisruhan pra, saat dan pasca pemilu yang buntut besar adalah bentrok dan pengrusakan fasilitas umum yang tentu saja hal ini semestinya tidak perlu terjadi.

Kembali pada persoalan di mana letak kesalahan awal kog DPTnya bisa tidak bener? Kembali pada persoalan DPT. Hakekatnya DPT merupakan data yang semestinya tetap mengacu pada KTP yang memang sumber primer penentuan data pemilih adalah KTP, karena KTP inilah nama-nama siapa saja yang akan menjadi pemilih dapat dijaring secara tepat dan akurat. Tapi kenyataannya saat inipun KTP dengan sistem elektronik (e-KTP) tidak juga tuntas, ujung-ujungnya Mendagri yang juga disalahkan karena dianggap tidak becus menyelesaikan persoalan KTP ini.

Padahal secara kebijakan sudah jauh-jauh hari diberikan surat perintah agar jajaran pemerintahan segera menyelenggaran proyek e-KTP ini sampai ke kelurahan. Dan pemberitahuannya pun tidak kurang-kurang karena di setiap intansi surat pemberitahuan ini sudah ditempel dan disampaikan secara lisan oleh aparat desa. Jadi kesalahan Mendagri sebenarnya sudah selesai. Tapi nyatanya karena kelalaian pemerintah daerah yang tidak selalu mengecek proses penyelesaian KTP ini ditingkat kecamatan. Lebih rumit lagi masalahnya jika masyarakat yang ogah-ogahan membuat KTP elektronik ini lantaran karena alasan kesibukan selain itu beralasan karena KTP lawas masih dianggap berlaku dan memang berlaku hingga KTP elektroniknya selesai. Sehingga menambah persoalan baru ketidak akuratan jumlah pemegang KTP di tingkat kecamatan.

Persoalan lain adalah, ketika E-KTP yang menjadi data pokok yang akan menjadi sumber penetapan DPT merupakan hal yang aneh dan lucu. Kenapa? Karena sistem pencetakan E-KTP pun tidak langsung jadi sehingga ketepatan daftar nama yang dianggap valid pun sulit diperoleh. Apalagi ada pembuat E- KTP baru yang di bawah usia 17 tahun diperbolehkan mendaftar dan direkam datanya di kecamatan dengan alasan E-KTP tersebut akan jadi tatkala usia mereka sudah menginjak 17 tahun, lah ini kan juga menjadi persoalan. Bagaiaman mungkin anak yang belum mencapai usia 17 tahun sudah direkam data dirinya sebagai proses pembuatan E-KTP baru padahal masa tunggu hingga 1 tahun? Wajar saja DPT yang sudah diprint pun banyak yang tidak memiliki NIK. Karena memang KTP mereka belum dicetak dan belum berhak mendapatkan KTP disebabkan usia yang belum mencukupi.

Persoalan-persoalan di atas sejatinya sudah bertahun-tahun dan berkali-kali terjadi ketika hajat demokrasi ini diselenggarakan. Tidak hanya pemerintahan saat ini, sejak zaman orde baru data pemilih tidak pernah akurat dan ujung-ujungnya akan berakhir protes dan perdebatan yang tidak menyelesaikan masalah. Oleh karena itu tidak sepatutnya menyalahkan Presiden SBY, Partai Demokrat karena dianggap biang kekisruhan dan kekarutan proses pemilu ini. Akan tetapi hakekatnya diawali dari ketidak siapan aparat di daerah ketika harus mempersiapan data penduduk pemilik KTP yang benar-benar akurat.

Sejatinya E-KTP merupakan proyek yang tidak diburu-buru karena banyak komponen yang harus bekerja dan tentu saja tidak seperti membalikkan telapak tangan proyek E-KTP itu sukses dengan seratus persen karena ada indikator-indikator yang turut mempersulit proses penyelesaiannya. Sehingga sepatutnya KTP lama dahulu yang di fix kan sebelum menuntut penyelesaian target E-KTP karena sampai saat inipun ada banyak masyarakat yang belum memiliki KTP lama apalagi mendapatkan E-KTP yang jelas-jelas harus terlebih dahulu memenuhi salah satu syaratnya yaitu memiliki KTP dan KK yang sudah valid. Selain itu tentu saja, kurang kompaknya pemerintah daerah dan pemerintah pusat ketika berhadapan dengan masalah kependudukan, terkesan segalanya adalah milik pemerintah pusat padahal menurut kacamata saya  adalah kesalahan sistem yang tidak pernah solid dan tidak pernah belajar dari permasalahan yang terjadi. Wassalam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline