Beruntung sekali ya jika seseorang memiliki pasangan yang bercita-cita tinggi menjadi pejabat negara. Tentu saja kabar dan mimpi baik sepertinya yang akan selalu dihembuskan kepada telinga kita. Menjadi tokoh yang disegani, mendapatkan kedudukan terhormat di lingkungannya dan tentu saja karena tupukan-tumpukan uang akan berderet dalam brankas pribadi. Bagaimana tidak bangga kalau misalnya menjadi Anggota Legislatif (ALEG) tentu saja uang gaji akan mengalir seperti air terjun yang jatuh begitu derasnya. Ditambah lagi. kebijakan yang berkaitan pembangunan daerah tentu dia ikut berpartisipasi dan berperan dalam penyusunan hingga sebuah undang-undang disahkan. Bahkan kalau kita membicarakan besaran gaji para wakil rakyat ini pastilah kita akan terhenyak, terkejut dan kaget bukan kepalang. Alasannya karena gaji mereka adalah urutan ke-4 berdasarkan urutan gaji para pejabat negara di seantero dunia. Seperti diberitakan oleh Merdeka.com bahwa gaji Anggota DPR RI jika dihitung jumlah keseluruhan kisaran Rp 1 milyar. Pada tahun 2007, data yang diperoleh setiap anggota DPR menerima uang sedikitnya Rp 787.100.000 tiap tahun. Sumber di sini. Itu jika dihitung selama satu tahun, berbeda lagi jika dihitung selama lima tahun masa jabatannya, tentu saja nilai nominalnya sekitar Rp 3.935.500.000 pendapatan yang cukup fantastis yang mereka peroleh selama kurun waktu lima tahun. Makanya wajar bahwa salah seorang anggota legislatif pernah mengatakan bahwa dia maju menjadi caleg DPR RI harus mengantongi uang di atas Rp. 1 milyar. Jumlah modal yang tidak sedikit akan tetapi pendapatan mereka lebih dari modal yang telah dikeluarkan.
Dibawah ini rasio pendapatan gaji anggota DPR RI menurut pendapatan perkapita penduduk.
[caption id="attachment_315169" align="aligncenter" width="396" caption="Rasio Gaji Anggota DPR RI tahun 2013/merdeka.com"][/caption] Sebuah pendapatan yang fantastis bukan? Ya iyalah gak pake koma. Makanya ada banyak orang yang harus membayar massa tatkala suaranya kalah dalam Pemilu dan mengatakan bahwa penghitungannya tidak fair. Bahkan karena sikap arogannya mereka harus melakukan bakar2 kantor KPU dan fasilitas pemerintah lainnya. Bukan karena sebab lain karena mereka sudah Gila karena melihat deretan uang yang akan mereka dapatkan dari gaji sebagai anggota legislatif. Belum lagi jika anggota legislatif itu tidak merasa cukup dengan gajinya yang cukup fantastis tersebut, maka ada banyak cara agar amplop-amplop turut terselip di antara kantung-kantung baju mereka. Lantaran mereka "diminta" meloloskan sebuah proyek bahkan mega proyek yang menyumbang uang negara yang tidak sedikit. Namun, lagi-lagi bukan rakyat lagi yang mereka pikirkan, akan tetapi karena uang yang akan mereka dapatkan. Karena ketika seorang anggota legislatif terlibat dalam sebuah pembuatan undang-undang tertentu, tentu saja ada banyak orang yang berkepentingan yang menitipkan amplop terimakasih semoga undang-undang itu segera disahkan. Makanya sangat wajar pula kenapa kursi di parlemen menjadi rebutan dan begitu mewahnya pada wakil rakyat ini. Terang saja karena gaji yang mereka dapatkan terlampau tinggi jika diukur menurut penghasilan kebanyakan orang yang bekerja di instansi pemerintah. Itupun baru sebatas gaji pokok, karena ada banyak tunjangan yang semakin menambah pundi-pundi uang kantungnya. Dan menjadikan dirinya semakin kaya raya. Hal-hal di atas sejatinya yang menjadi rangsangan kepada seorang Caleg atau siapapun yang ingin menjadi anggota legislatif. Baik dengan niat semata-mata karena ingin menyampaikan aspirasinya untuk membela wong cilik atau semata-mata karena jumlah materi yang dapat digolongkan cukup besar. Namun demikian, bagaimana jadinya jika ingin mencalonkan dirinya hanya bermodalkan do'a dan tidak disertai "modal" yang besar. Seperti yang disampaikan beberapa mantan anggota legislatif yang mengatakan bahwa untuk menjadi caleg daerah itu harus punya uang minimal Rp 100 juta itupun modal yang terlalu sedikit jika ingin mendulang suara. Itupun untuk caleg daerah kabupaten bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu. Makanya wajar saja perempuan ini dianggap remeh oleh para pesaingnya karena tidak memiliki cukup uang untuk mencalonkan diri. Bahasa gampangnya mereka menganggap si Caleg adalah hanya sebagai penggembira. Tidak sampai di situ, karena besarnya dana awal untuk menjadi caleg itu harus besar, maka wajar saja saya menyebutnya sebagai Caleg gila. Caleg yang berani bersaing di antara benteng-benteng yang tinggi karena besarnya modal mereka untuk merekrut masa sebanyak-banyaknya. Bahkan yang lebih gila lagi harus bermain catur dengan seorang master catur yang sudah lama melanglang buana di dunia perpolitikan. Kog bisa disebut gila? karena para Caleg ini tengah dimabuk cinta dengan sosok kursi parlemen, itulah kegilaan pertama. Karena dengan dia dapat meraih satu kursi saja di parlemen, maka otomatis kehidupannya yang awalnya pas-pasan akan ikut terdongkrak dan sejahtera. Dan yang sudah memiliki pundi-pundi uang, maka mereka akan semakin berlimpahan harta benda. Jika awalnya asetnya hanya seputar ratusan juta, setelah menjadi anggota legislatif maka kehidupannya menjadi naik 360 derajat dari sebelumnya. Sebuah penghasilan fantastis, dan tentu saja menggiurkan siapa saja, tidak hanya kalangan awam, kalangan cerdik pandaipun tak perlu ditawari untuk menjadi caleg, dengan semerta-merata mereka mencalonkan diri. Bahkan lebih dari itu, dia bisa membangun sebuah istana dan memiliki sederet tempat usaha yang siap-siap menjadi mesin pencetak uang tatkala masa pensiun. Indah bukan menjadi anggota legislatif? Andaikan anda tak mengatakan indah, saya tetap akan mengatakan bahwa menjadi anggota legislatif itu amat menyenangkan. Kedudukan tinggi yang saat ini masih saja menjadi primadona, dan impian siapa saja yang sudah merasakan betapa nikmatnya uang para pejabat ini. Namun, apakah dengan gaji yang tinggi dan fasilitas tunjangan yang besar menjadikan para anggota legislatif ini menjadi waras? atau terbebas dari penyakit gila? Sepertinya jawabannya tidak. Karena sampai saat inipun meskipun mereka sudah digaji oleh negara dengan gaji yang tidak sedikit, tapi kenyataannya mereka masih saja bermain anggaran proyek, tidak hanya menggelembungkan rekapan, tapi melakukan secara sistematis upaya-upaya memperoleh tender dan tentu sjaa hadiah dari para pengusaha properti. Sering disebut para ahli hukum dengan grativikasi, atau bahasa sederhananya melakukan mark-up atas proyek yang saat ini tengah ditanganinya. Meski gaji dan tunjangan mereka sudah overload untuk ukuran orang kebanyakan, tapi faktanya mereka masih menggunting dalam lipatan, bermain api dengan amat beraninya. Mau menerima suap karena tanda-tangannya sangat berharga bagi para pengusaha kontraktor, bahkan lebih dari itu, mereka mau bermain listrik di saat tegangan tengah tinggi-tingginya seperti yang terjadi oleh KPK. Wah, semakin lama kita membicarakan gilanya para wakil rakyat ini, bisa jadi kita malah ikut2an gila karena menginginkan penghasilan yang tidak sedikit seperti mereka. Walaupun sejatinya tetap tidak mudah pula melepaskan diri dari jeratan permainan perundang-undangan, karena di dalamnya selalu disisipi oleh kepentingan orang-orang tertentu yang ingin mencari keuntungan sepihak. Bandingkan pendapatan anggota legislatif dengan tingkat kemiskinan di Indonesia? Data pendapatan pejabat negara ini tentu menjadi jumlah yang mencengangkan, jika dilihat dari masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 saja, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dari seluruh penduduk Indonesia. (merdeka.com) Tatkala para wakil rakyat ini justru menindas rakyat yang diwakilinya maka hanya akan menimbulkakn fakta yang cukup miris dan membuat kita mengelus dada. Ketika hendak berjuang menjadi wakil rakyat ternyata tak berbanding lurus dengan perjuangan mereka dalam mengentaskan kemiskinan yang di alami rakyat. Bukan memikirkan bagaimana rakyat menjadi sejahtera, tapi perut mereka sendirilah sejatinya yang ingin disejahterakan. Bahkan yang cukup naif tatkala para wakil rakyat ini pernah meminta jatah uang pensiun ketika masa tugasnya selesai, dan meminta jatah jaminan kesehatan dengan fasilitas pengobatan di luar negeri meskipun akhirnya keputusan ini dianulir oleh Presiden SBY. Sebuah kepongahan terselubung yang ditutupi oleh muka ramah dan manis tatkala mereka berkampanye. Jangankan memikirkan untuk mengembalikan hutang negara, justru mereka mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Naif, miris dan menyedihkan. Berharap rakyat kecil dapat sejahtera ternyata hanya isapan jempol belaka tatkala para wakilnya di DPR justru memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan secara membabi buta. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H