Energi positif maupun energi negatif senantiasa ada dalam diri manusia. Oleh karena kedua energi inilah setiap manusia memiliki keragaman sikap dan prilaku serta pola pikir yang menjadikannya menjadi baik atau menjadi buruk. Ketika salah satu energi telah menguasai bahkan memerangkap alam bawah sadar yang sebenarnya harus diterjemahkan dengan positif pula. Namun, karena egosentrisme manusia seringkali sikap positif harus terkekang dan terkalahkan.
Namun demikian, jika kedua energi tersebut tidak ada, juga belum dianggap sebagai manusia biasa. Karena bagaimanapun juga tanpa terkecuali mereka selalu dihiasi oleh kedua energi tersebut. Tinggal manusialah yang dapat mengendalikan energi negatif dan menonjolkan energi positif.
Karena kemampuan mengendalikan energi negatif dan menonjolkan energi positif menjadikan kecenderungan seseorang akan selalu berfikir positif dalam menghadapi hidup baik dalam menilai diri sendiri maupun orang lain.
Dalam ajaran Islam, kedua energi tersebut disebut sebagai akhlak, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak diartikan sebagai bentuk batin yang mendorong manusia melakukan sesuatu tanpa dipikirkan dan direncanakan. Jika dia berbuat baik maka secara otomatis akhlak baik menjadi dimensi penting dalam kehidupannya begitu juga jika prilaku jahat yang senantiasa menguasai dirinya maka sudah dapat dipastikan akhlaknya adalah buruk.
Sedangkan dalam filsafat China disebut dengan Yin - Yang yang selalu mempengaruhi sifat manusia. Dan dari sanalah sumber keberhasilan, apakah mereka lebih didominasi kebaikan atau bahkan sebaliknya, jika mereka lebih dipengaruhi akhlak buruknya maka secara otomatis segala sesuatu yang akan diperbuatnya merupakan kejahatan. Apalagi semua yang diperbuat oleh orang lain, meskipun lawannya berniat dan telah berbuat baik maka secara otomatis segalanya menjadi buruk dan selalu mendapatkan perlawanan alias dibenci tanpa memandang sisi kebaikannya.
Meskipun dalam ajaran Islam dan filsafat China berbeda dalam memahami konsep energi baik dan buruk akan tetapi sebenarnya semua memiliki konsep yang serupa. Menghendaki setiap manusia lebih mendahulukan energi positif dari pada energi negatif, karena jika energi positif lebih kuat maka kebaikan pun akan mereka peroleh dan sebaliknya jika energi negatif yang mendominasi maka keburukan pulalah yang akan mereka dapatkan.
Terlepas dari paparan yang begitu njlimet tentang energi yang ada dalam diri manusia, di antara energi negatif tersebut adalah kebencian dalam dada, yang setiap detik selalu bertambah bahkan seperti memuncak, akibatnya apapun yang dilakukan oleh orang lain akan dianggap salah dan berkonotasi negatif, padahal sebenarnya yang dipikirkan tidak selalu koheren dengan apa yang dipahami oleh orang lain. Apalagi jika aktivitas tersebut dilakukan oleh seorang politisi, meskipun sebenarnya baik karena sikap benci yang berlebih-lebihan maka semuanya pasti dicap sebagai politisasi, atau rekayasa yang bertujuan untuk simpati atau perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan itu kawan separtai maupun lawan politik, jika aktivitas yang dilakukan berkaitan dengan moment-moment penting maka dapat dipastikan akan banyak kecurigaan (suudzan) yang akan diterimanya.
Namun demikian, politik maupun tidak semua akan berkaitan dengan reaksi orang lain terhadap apa yang kita lakukan, toh semua memang sudah sifat yang sengaja dipertahankan sebagai bentuk kepribadiannya. Namun demikian siapa saja yang menghendaki kebaikan, energi positif semestinya lebih mendominasi aktivitas sehari-hari agar kebaikan selalu hadir dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H