Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Beberapa Kebijakan Ini Mungkin Dapat Menyelamatkan Hutan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah pemerintah kita terlalu lamban dalam menangkap para perusak hutan? Atau apakah pemerintah terlalu memanjakan para pelaku kejahatan tersebut hingga kasus perusakan hutan begitu berlarut-larut untuk dapat ditangani secara tuntas?

Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah sejatinya yang sering terlontar dalam benak saya, melihat banyaknya kasus perusakan hutan, mencakup ilegal logging, pembakaran hutan karena ingin membuat perkebunan dan seabrek masalah hutan yang tak kunjung terselesaikan. Padalah sesuai dengan nota kesepahaman yang ditandatangani tatkala KTT Climate Change di Bali beberapa waktu lalu. Di mana Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan yang cukup luas ke-dua setelah hutan Amazon bertanggung jawab akan kelestarian hutan.

Dengan membuat kebijakan kehutanan sekaligus menyusun program kerja pengelolaan dan pelestarian hutan. Sehingga mau tidak mau Indonesia pun turut andil dan bertanggung jawab dalam melestarikan hutan.

Potret Kerusakan Hutan di Indonesia / Sumber: Forest Watch Indonesia (fwi.or.id)

Akan tetapi masalah di lapangan tak sejalan dengan nota kesepahaman yang tertuang dalam pertemuan tersebut. Karena, hingga dasa warsa terakhir hutan di Indonesia mengalami pengurangan dan penyempitan secara signifikan. Semua tanpa sebab karena begitu banyaknya hutan yang dibabat untuk pembangunan, pembukaan lahan baru maupun penebangan liar untuk industri dan ekspor.

Meskipun ada beberapa pihak yang mensinyalir bahwa KTT tersebut tidak menguntungkan Indonesia, karena Amerika Serikat sebagai salau satu negara yang tidak mau menandatangani protokol pengurangan emisi gas karbondiosida. Karena memang AS merupakan negara industri sehingga wajar saja jika AS tidak mau mengikuti aturan KTT perubahan iklim tersebut. Sebuah keputusan yang egois. Di satu sisi menghendaki semua negara berperan aktif dalam mengatasi isu global warming, di sisi lain negeri paman sam tidak mau mengikuti resolusi untuk mengurangi emisi gas berbahaya tersebut.

Terlepas dari KTT Perubahan Iklim dan protokol untuk mengurangi emisi gas Carbon di Bali tersebut, potret hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup signifikan, sebagaimana dipaparkan oleh Forest Watch Indonesia, bahwa pengalihan fungsi hutan (deforestasi) dan pengrusakan hutan (degradasi) hutan sejak tahun 2000 hingga 2009 terjadi sekitar 2 juta hektar.(fwi.or.id)

FAO (Food and Agricutural Organization) dalam buku state of the World’s Forest, menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan uas hutan alam terbesar di dunia, dengan laju kerusakan hutan mencapai 1,87 juta pertahun dalam kurun waktu 2000-2005. (fwi.or.id)

Kenyataan tersebut sangat ironi, tatkala kita sangat membutuhkan hutan sebagai paru-paru dunia, tenyata justru Indonesia adalah negara yang memiliki peran besar terhadap kerusakan hutan.

Perbandingan LuasTutupan Hutan terhadap Luas Daratan Indonesia Tahun 2009

Sumber: fwi.or.id

Kembali pada persoalan kenapa pemerintah dinilai terlau abai, dan menganggap kerusakan hutan sebagai kerusakan biasa. Dan sayang sekali justru saat ini sebagian besar hutan di Indonesia sengaja dirusak karena dialihfungsikan menjadi kawasan hutan tanaman industri yang siap ditebang sewaktu-waktu, atau dialokasikan menjadi kawasan perkebunan sawit mapun karet. Meskipun akhirnya tetap ditanami pepohonan, akan tetapi ekosistem hutan dan keanekaragaman jenis flora pun turut punah. Sehingga saat ini Indonesia kesulitan tatkala membutuhkan kayu-kayu super karena keadaannya sudah tidak ada lagi.

Melihat semakin banyaknya investor asing yang banyak menanamkan modalnya dalam bisnis perkebunan, ternyata tak diiringi dengan aturan-aturan yang tegas untuk membatasi prilaku curang dalam membuka lahan baru. Misalnya para pengusaha perkebunan tersebut seperti tidak merasa takut tatkala membuka lahan baru dengan cara membakar. Boleh jadi alasannya karena dengan membakar ongkos yang dikeluarkan lebih sedikit daripada dengan cara lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline