Gizi Buruk Melanda Aceh. Sebuah Ironi Daerah Istimewa
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas serta dipenuhi dengan sumberdaya alam yang berlimpah. Akan tetapi keluasan wilayah dan kekayaan alam yang melimpah tidak menjamin masyarakatnya menikmati kesejahteraan dan kecukupan secara gizi.
Lebih khusus wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah wilayah yang memiliki potensi pertanian, perkebunan, sumber minyak bumi yang cukup besar serta kekayaan laut yang juga cukup berlimpah. Di mana secara teori sepatutnya NAD menjadi wilayah yang kaya dan makmur akibat ketersediaan sumber daya alamnya.
Akan tetapi fakta riil sunguh ironis, provinsi yang mendapat julukan Serambi Mekah ini justru tengah mengalami masalah kesehatan terutama menimpa kalangan balita, meskipun provinsi ini memperoleh hak otonomi khusus yang secara otomatis mereka mendapatkan keistimewaan dari daerah lain terkait penyelenggaraan pemerintahan di daerah ujung barat pulau Sumatra tersebut.
Hal ini ditunjukkan dengan tingginya angka gizi buruk yang melanda anak-anak Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan tatkala Indonesia disebut-sebut sebagai negara agraris dan maritim. Dengan cakupan tanah pertanian yang cukup luas, serta kekayaan laut yang berlimpah, hakekatnya sebuah ironi yang sampai saat ini terjadi. Boleh jadi angka gizi buruk akibat kemiskinan masyarakatnya juga dialami oleh masyarakat di daerah lain.
Sebagaimana diberitakan oleh news.detik.com berdasarkan keterangan Kepala Seksi Kesehatan Ibu Anak dan Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Aceh bahwa di tahun 2013 sebanyak 1.034 anak di Aceh meninggal akibat mengalami gizi buruk. Angka tersebut ternyata lebih tinggi jika diukur tingkat gizi buruk di tahun 2012 dengan kenaikan sekitar 5% yakni berjumlah 985 orang.
Padahal jika menengok hasil keputusan Sidang Paripurna DPRD Prov. NAD tentang pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA) tahun 2013 menempati nilai anggaran yang cukup fantastis. Yakni 11,784 triliun rupiah. Meskipun tingginya anggaran yang telah disahkan tersebut ternyata mengalami defisit sebesar1,6 triliun rupiah. Sumber Tempo.co.
Sebuah anggaran yang cukup besar dan terjadi pembengkakan jika diukur dengan APBAtahun 2012 yakni sebesar Rp 9 triliun. Namun sayang sekali dengan anggaran yang cukup besar tersebut Acehpun masih menempati posisi Provinsi termiskin keenam di Indonesia. Sumber Kompas.com
Jika kita telaah lebih mendalam terkait kasus gizi buruk di wilayah Aceh, dan kemungkinan juga melanda wilayah lain di Indonesia, bahwa peningkatan angka kematian akibat gizi buruk merupakan sebuah kegagalan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam memenuhi kecukupan gizi warganya. Keadaan ini boleh jadi akibat cost yang tinggi yang harus dibayarkan pemerintah Aceh selama pemulihan akibat bencana yang datang silih berganti. Selain itu karena tingkat keamanan di Aceh yang belum lama pulih mengakibatkan ketidakselarasan masyarakatnya dalam membangun ekonomi keluarga.
Kondisi ekonomi yang masih carut marut akibat bencana yang silih berganti, diperparah dengan konflik horizontal yang melanda masyarakatnya akibat adanya sebagian masyarakat Aceh yang ingin merdeka.
Satu sisi masyarakat Aceh harus berbangga diri karena mendapatkan predikat Daerah Istimewa dengan otonomi khusus paska ditandanganinya nota kesepahaman dalam perundingan Helzinky. Akan tetapi di sisi lain sampai saat inipun masyarakat Aceh dalam tanda kutip pemerintah Aceh yang otonom tersebut belum bisa sepenuhnya meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Bahkan jika dianalisis berdasarkan fakta politik masyarakat Aceh, masih bergelut dengan pertetangan masyarakat di dalamnya antara tetap menjadi bagian bangsa Indonesia atau justru sebaliknya di antara mereka menghendaki kemerdekaan secara penuh.
Fakta inilah yang mengakibatkan kondisi ekonomi tak berjalan dengan selaras, di satu sisi karena masalah pemulihan ekonomi akibat bencana, di sisi lain pemulihan dan penentuan sikap antara tetap menjadi bagian integral bangsa Indonesia atau sebaliknya.
Kondisi inilah yang mengakibatkan kondisi Aceh sampai saat ini sulit mencapai kesejahteraan akibat dampak sosial ekonomi dan politik yang melanda masyarakatnya.
Praduga selanjutnya disebabkan karena belum berjalannya situasi masyarakat yang mandiri di tingkat bawah lantaran pemerintah daerah kurang memberikan akses terhadap tersedianya lapangan kerja produktif dan mandiri seperti di daerah-daerah lain yang telah sukses mengembangkan budidaya mandiri demi memenuhi kebutuhan gizi masyarakatnya.
Selain karena masalah di atas, boleh jadi pemerintah Aceh kurang sepenuhnya memperhatikan kondisi riil kesehatan masyarakatnya, khususnya masyarakat bawah yang selalu terhimpitdengan sulitnya membangun ekonomi keluarga mereka. Padahal pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana yang cukup besar terkait jaminan kesehatan masyarakatnya.
Semoga saja bukan karena korupsi yang melilit Pemerintah Daerah NAD yang juga akan berakibat terkurasnya anggaran negara dan daerah disebabkan karena dicuri oleh para pejabatnya. Karena jika anggaran negara dan daerah yang digelontorkan untuk kesejahteraan masyarakatnya telah dikorup, maka akan sama saja kisahnya dengan provinsi Banten yang mengalami kegagalan membangun ekonomi disebabkan korupsi yang menggurita di wilayah tersebut.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H