Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Kisah Perempuan-perempuan Pemungut Buliran Padi Sisa

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (manado.tribunnews.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi/Kompasiana (manado.tribunnews.com)"][/caption]

Musim panen telah tiba, segudang senyum dan wajah penuh semangat memancar dari para wanita ini. Para wanita yang tak pernah lelah mengais rizki demi keluarga. Membanting tulang ikut membantu menopang kehidupan rumah tangganya. Dialah perempuan-perempuan hebat pemungut bulir-bulir padi sisa di pematang sawah.

Pekerjaan yang menurut sebagian orang dianggap hina, lantaran menganggap mengais rizki dari padi  sisa di pematang sawah amat tidak patut. Dianggap sebagai pemulung dan dianggap hina karena dianggap tak lazim dilakukan oleh para wanita kebanyakan. Memungut bulir-bulir padi bernas yang amat sayang jika tak terpungut lantaran terbuang.

Apakah mereka orang-orang yang teramat miskin? atau orang-orang yang tak mampu membeli beras?

Tentu saja tidak. Bukan berarti ketika mereka memungut buliran-buliran padi tersebut karena tekanan ekonomi. Atau bukan karena mereka tak memiliki lahan garapan atau amat miskin. Tapi hal tersebut dilakukannya demi memanfaatkan waktu senggang dan memanfaatkan padi yang tak terbawa tatkala dipanen. Tentu saja lantaran jatuh tatkala ditumpuk bersama jerami.

Karena kebiasaan yang tak sengaja dilakukan, tatkala para petani memanen padi mereka, maka ada banyak batang-batang padi yang tertinggal beserta rontokan padi di bawah tumpukan padi. Para pemanen sering tak sadar ada banyak bulir padi yang tersia-sia karena tak turut terangkut lantaran rontok dari dahannya.

Itulah Ibu Misirah, di saat panen tiba, ia beserta perempuan lain yang memiliki profesi yang sama berjuang untuk mengumpulkan bulir-bulir padi tersebut. Sebulir dua bulir dikumpulkan hingga bergantang-gantang. Kadang karena kesabarannya hingga satu karung gabah ia dapatkan. Sekarung gabah yang bercampur dengan butiran tanah dan pasir akibat terpungut bersama tanah sawah.

Padi yang kotor itu pun harus dipisahkan dari tanah dan pasir. Agar beras yang dihasilkan menjadi bersih. Dan tak "ngeres" tatkala ditanakkan untuk dijadikan santapan.

Meskipun pekerjaan ini amat tak lazim tapi amat mulia karena memanfaatkan padi-padi bernas yang terbuang. Dan perolehan sepertinya tak seberapa, namun tatkala diamati, mereka melakukannya dengan tekun dan tanpa rasa malu karena mereka mengganggap pekerjaan tersebut halal.

Berhari-hari mereka berangkat pagi setelah menyiapkan sarapan untuk suami mereka, dan di tengah hari mereka kembali sejenak untuk melakukan ibadah, kemudian mereka akan berjuang lagi hingga senja hari. Tatkala kutanya kok mau bu mengerjakan ini? mereka menjawab, "Mumpung lagi panen mas sayang kalau tak diambil." Dengan bahasa polosnya mereka menjawab dengan sumringah, kata mereka sembari tersenyum tak terlihat sedekitpun raut sedih di wajah mereka. Benar-benar luar biasa.

Kebahagiaan mereka tentu karena ada alasannya, meskipun pekerjaan tersebut terlihat hina namun hakekatnya amat mulia. Selain  itu karena penghasilan mereka yang tak sedikit. Karena kalau lagi beruntung mereka mendapatkan gabah kotor seberat 50 kg, jika diuangkan bisa mencapai Rp 150.000. Pantas saja mereka tak merasa malu lantaran penghasilan yang tak sedikit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline