Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Learning by Doing, Efektifitas Mendidik ala Anak Disabilitas

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14108375481580157829

[caption id="attachment_359543" align="aligncenter" width="490" caption="Salah satu kegiatan pengembangan diri yang dilakukan anak-anak disabilitas, meski tempat khusus belum kami miliki anak-anak masih tetap fokus mengikuti latihan / doc. pribadi"][/caption]

Seperti tulisan-tulisan saya terdahulu, mengenai sistem pendidikan dan pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus (disabilitas) bahwa pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kekurangan secara fisik maupun intelegensi ini sepatutnya lebih dikembangkan pada pola pembelajaran learning by doing.

Apa maksudnya? seperti banyak dipahami oleh para akademisi, bahwa learning by doing adalah ketika anak-anak didik, sengaja didik dengan mengkombinasikan sistem pemelajaran tutorial disertai dengan melakukannya. Praktik lebih tepatnya. Karena dengan metode ini ternyata ada pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan motorik anak. Khususnya kemampuan dalam menggerakkan fisiknya dalam melakukan proses pembelajaran.

Secara tidak langsung guru telah mengarahkan siswa untuk mengombinasikan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan pembelajaran yang hanya berkutat pada teori atau ceramah saja. Bahkan lebih dari itu, dengan metode ini anak akan mampu mendemonstrasikan pengalamannya secara langsung meskipun apa yang dilakukan melalui proses try and error. Mencoba dan terus mencoba sesuatu yang baru hingga anak-anak benar-benar mampu melakukannya sendiri.

Sebagaimana digambarkan oleh engines4ed.org sebagai berikut:

There is really only one way to learn how to do something and that is to do it. If you want to learn to throw a football, drive a car, build a mousetrap, design a building, cook a stir-fry, or be a management consultant, you must have a go at doing it. Throughout history, youths have been apprenticed to masters in order to learn a trade. We understand that learning a skill means eventually trying your hand at the skill. When there is no real harm in simply trying we allow novices to "give it a shot."


Bagaimanapun juga, pengalaman inderawi sekaligus mengaktualisasikan pengetahuannya dengan melakukan secara langsung akan lebih bermanfaat dan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kemampuan anak didik. Baik bagi anak-anak disabilitas maupun anak-anak pada umumnya.

Metode learning by doing, memang acapkali hanya sebatas retorika semata, mereka seolah-olah benar-benar menerapkan metode ini sesuai dengan kebutuhan siswa, padahal kurang menyentuh kebutuhan yang paling riil bagi siswa. Memang tidak sepenuhnya kelemahan terletak pada para pendidiknya, karena kurikulum yang dikembangkan kurang menyentuh ketiga aspek tersebut. Media yang kurang mendukung, ditambah lagi ketidak mampuan guru dalam menciptakann sendiri media pengganti jika media yang mahal belum terpenuhi.

Dari media yang tidak mencukupi, SDM guru yang juga kurang, serta lingkungan yang kurang mendukung untuk dikembangkannya keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi para siswa. Belum lagi ternyata dalam setiap evaluasi hanya sebatas teori kognisi, sedikit sekali aspek praktisnya.

Itulah beberapa gambaran betapa pentingnya pembelajaran learning by doing tatkala dihadapkan pada tingginya kebutuhan skill individu dan team ketika harus terjun dalam dunia kerja. Pekerjaan yang siap menampung skill bagi anak-anak disabilitas.

Kembali pada persoalan belajar sambil melakukan dalam teori tersebut, anak-anak disabilitas sepatutnya memang selalu diarahkan pada pengalaman secara langsung, seperti pembuatan bahan kerajinan dari bahan alam maupun bekas yang ada di lingkungan sekitar, pembuatan aneka kuliner yang murah meriah tapi bernilai tinggi, melakukan aktivitas pangkas rambut atau rias pengantin misalnya. Ada juga yang berhubungan dengan kegiatan otomotif. Otomotif yang dikembangkan bagi anak-anak disabilitas (tuna grahita) misalnya dengan praktik tambal ban, mengganti ban motor atau sepeda, ganti oli, ganti busi motor, mengganti lampu motor, dan lain-lain yang masih tergolong ringan.

Berbeda dengan anak-anak yang tuna rungu, mereka masih mudah menangkap materi tentang cara membongkar mesin sepeda motor, karena kemampuan intelegensinya lebih baik termasuk anak-anak tuna daksa yang memiliki kekurangan fisik. Meskipun adapula anak-anak dengan kelemahan pendengaran ternyata mengalami kecacatan ganda, mereka tidak mendengar juga intelegensinya amat terbatas. Tapi semua itu masih bisa diatasi dan diberikan yang sekiranya anak-anak tersebut masih mampu melakukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline