Lihat ke Halaman Asli

M. Ali Amiruddin

TERVERIFIKASI

Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Sekolah (Tak) Harus Rangking 1?

Diperbarui: 19 April 2018   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tulisan ini sudah saya sentil sebelumnya di laman facebook saya. Bahwa anak saya yang sulung, yang kebetulan baru kelas tiga barusaja menerima raport, bergembira karena mendapatkan peringkat ke delapan. Rasanya gitu loh, saya selalu ayahnya turut bergembira, karena di kelas sebelumnya nilainya selalu di bawah rata-rata alias jeblog.

Meski saya anggap biasa saja dengan perolehan prestasi tersebut, tapi bagi sang anak sebuah kebanggaan karena bisa menyampaikan berita baik bahwa ia termasuk yang mendapatkan rangking. Apa pasal? Karena rata-rata orang tua menghendaki anaknya mendapatkan tiga besar alias rangking 1 sampai 3. Mereka bersusah payah mengikutkan les dan bimbel hingga jutaan rupiah, demi sebuah rangking kesatu.

Selain kegembiraan anak saya tersebut, begitupula sang ibunya juga turut bangga, seraya mengucapkan alhamdulillah ternyata meskipun nilainya jauh dari anak yang berprestasi lain ternyata ia mampu mengerjakannya tanpa menyontek, tanpa melihat hasil temannya. Atau ia sudah bisa berfikir apa adanya, bahwa nilai ulangan itu murni dari olah pikirnya sendiri, dan bukan dari hasil jiplakan dari temannya.

Sekali lagi, alhamdulillah, saya bersyukur harapan saya agar anak mau bersikap jujur benar-benar dipahami dan diresapi secara mendalam, mulai dari hal kecil terutama tatkala pelaksanaan ujian di sekolah.

Berbeda dari apa yang diceritakan sang anak, ternyata salah satu temannya yang berperingkat ketiga ia selalu ngambek dan memaksa diri agar dirinya mendapatkan rangking. Kalau harapannya tak tercapai maka alamat perabot rumah akan dihancurkannya satu persatu.

Ada pula saya dapati seorang ibu yang naik pitam tatkala sang anak tak mendapatkan rangking. Sang ibu justru membenturkan kepala anaknya lantaran anaknya tak berhasil membuat dirinya bangga. Sang ibu tega menyakiti fisik dan psikis anak demi sebuah prestise, kebanggaan yang biasanya ia dapatkan tatkala bertemu dengan para ibu di kampungnya. Katanya "Jeng, anakmu dapat rangking berapa? Anakku dapat rangking 1 loh!. Meski tak ada yang menanyakan prestasi anaknya, ia memamerkan hasil capaian anaknya di sekolah. 

Meskipun setelah ia bangga menyampaikan berita gembira atas prestasi anaknya, di lain kesempatan ia menyakiti sang anak lantaran nilainya turun drastis. Yang biasanya dapat rangking ternyata jatuh tak terkendali. Sambil mencela anaknya dengan sebutan "bodoh" lantaran tidak bisa membanggakan sang ibu.

Sang ibu murka, anaklah yang menjadi korban. Meskipun sang anak sudah ketakutan karena dimarahi sang ibu, ternyata si ibu malah membenturkan kepalanya ke tembok lantaran anaknya dianggap bodoh. 

Masha Allah, kasihan sekali melihat anak itu. Gumamku.

Bersyukur anak kami tak harus dibenturkan kepalanya tatkala ia bangga karena nilainya bisa meningkat dari tahun sebelumnya. Meskipun kami tak memaksanya belajar dengan keras. Bahkan kami memberikan kesempatan sang anak untuk bisa bermain seluas-luasnya agar ia mendapatkan haknya selaku anak-anak.

Benarkah Anak Bersekolah Harus Rangking Pertama?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline